Pembicaraan tentang jalur mandiri untuk masuk perguruan tinggi (PT) belakangan ini kian santer saja. Ini terjadi gara-gara seorang rektor sebuah perguruan tinggi tertangkap tangan oleh KPK lantaran menerima suap yang ditengarai untuk melapangkan jalan bisa masuk PT melalui jalur ini.
Rupanya persaingan di jalur mandiri pun tidak kalah kompetitifnya dengan jalur lain sehingga sampai-sampai ada yang memilih cara suap-menyuap.
Tiga Jalur Masuk
Ada tiga jalur masuk perguruan tinggi negeri. Pertama, adalah jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang disingkat dengan SNMPTN.
Kedua, jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal dengan sebutan SBMPTN.
Lalu yang ketika adalah jalur Mandiri, jalur yang biasanya ditempuh apabila seorang calon mahasiswa tidak lolos dalam SNMPTN dan SBMPTN.
Jalur Mandiri merupakan jalur seleksi calon mahasiswa yang diselenggarakan oleh institusi perguruan tinggi yang bersangkutan secara mandiri.
Berbeda dengan dua jalur lainnya, mahasiswa yang melalui jalur mandiri dikenakan uang pendaftaran lebih besar.
Di samping itu, dikenakan juga uang pangkal -- atau sebutan lainnya, yang besarnya tergantung pada kebijakan perguruan tinggi setempat.
Kalau dua jalur lainnya yang disebutkan di atas hanya mengenakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terhadap mahasiswa, jalur mandiri mengenakan uang pangkal dan UKT. Hanya, uang pangkal dibayar sekali selama studi dan biasanya dibayar pada semester pertama.
Di samping itu, pengenaan uang semester terhadap mahasiswa pada jalur mandiri pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan jalur SNMPTN dan SBMPTN.
Lalu, apakah jalur mandiri tidak melalui test? Tentu saja melalui test sebagaimana dua jalur lainnya yang saya sebutkan di atas. Test yang mesti diikuti, test kemampuan dasar, test potensi akademik, dan lainnya.
Saatnya Dihapus?
Berawal dari kasus seorang rektor yang tertangkap tangan tersebut, lalu banyak yang mengusulkan agar jalur mandiri dihapus saja. Ya, banyak yang merasa jalur mandiri adalah jalur yang rawan suap-menyuap.
Bagaimana menyikapinya? Pada saat kita mendengar sebuah kasus untuk pertama kalinya, terkadang kita cenderung menanggapinya secara emosional.
Emosi itu dipicu oleh pengalaman, informasi, atau hal lain yang membuat kita bersikap dan berpendapat seperti itu. Lalu, usulan menghapus jalur mandiri ini pun bergaung semakin keras, sahut-menyahut.
Namun, dalam kurun waktu tertentu gaung itu lantas menipis dan lenyap. Bagaikan empun pagi yang perlahan-lahan menguap tatkala tertimpa sinar matahari. Akhirnya, kita kembali kepada pola lama.
Perlunya Evaluasi
Kalau ada kasus seperti itu di sebuah perguruan tinggi, bukan berarti lembaga lain yang sejenis pasti melakukan hal yang sama. Kita tidak bisa gebyah uyah alias menggeneralisasi. Belum tentu perguruan tinggi lain melakukan hal yang sama: menerima suap!
Jadi, kalau sifatnya kasuistik, seyogianya dicermati penyebab terjadinya. Ada baiknya ditelusuri persoalan atau kelemahan apa yang ada di balik semua itu.
Adakah oknumnya yang bermasalah? Misalnya, kurangnya integritas? Ataukah lantaran sistemnya sedemikian rupa yang memungkinkan terjadi hal seperti itu? Adakah masyarakat yang sudah cenderung permisif terhadap hal-hal seperti ini?
Kalau sudah ditemukan, bagaimana cara mencegahnya agar tidak terjadi lagi di kemudian hari? Apakah diperlukan sistem berteknologi lebih canggih sehingga lebih transparan, akuntabel, sekaligus lebih proteckable?
Pengembangan Institusi
Pendapatan melalui jalur mandiri ini membuka peluang yang luas bagi lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan institusi.
Dengan kemandirian dalam pengelolaan dana -- terutama pada perguruan tinggi berbadan hukum atau PTN-BH, maka dana yang terserap dapat diarahkan untuk memenuhi berbagai aspek yang diperlukan demi kemajuan lembaga.
Harus disadari bahwa tanpa dukungan dana yang memadai, sangat sulit untuk meningkatkan kemajuan kampus dalam berbagai aspeknya. Semangat saja tidak cukup, kendati sangat penting.
Yang perlu ditekankan, penerimaan dan peruntukan pendanaan melalui jalur mandiri harus transparan dan accountable. Jangan ada yang disembunyikan atau direkayasa. Aspek transparansi dan akuntabilitas ini sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dengan aplikasi yang relevan.
Benar, secanggih apa pun teknologi yang digunakan, akhirnya akan tergantung pada manusianya, pada unsur the man behind the gun-nya. Kalau pengelolanya nggak bener, ya percuma sistem yang canggih. Karena, pada akhirnya, manusia jualah yang menentukan.
Oleh karena itu, ke depan perlu direkrut orang-orang yang memiliki komitmen kuat untuk memajukan lembaga, memiliki kepemimpinan yang visioner, dan terutama mempunyai integritas yang tinggi. Dilengkapi pula dengan sistem pengawasan yang baik.
Tetapi, masih adakah orang yang seperti itu? Saya yakin, di negeri ini masih banyak. Jadi, alih-alih menghapus jalur mandiri, lebih baik dievaluasi hingga ke dasar dan temukan solusi terbaiknya.
(I Ketut Suweca, 2 September 2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H