Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Amor Fati, Menerima Takdir Tanpa Protes!

2 Agustus 2022   18:32 Diperbarui: 4 Agustus 2022   03:56 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amor fati (Sumber gambar: prints.dailystoic.com).  

Amor Fati adalah istilah yang pada awalnya dicetuskan oleh filsuf Nietzsche, yang kemudian diteruskan oleh kaum Stoik sebagai bagian dari ajaran filosofis mereka.

Stoikisme, atau disebut juga dengan stoisisme, adalah salah satu aliran filsafat yang memiliki relevansi yang kuat dengan kenyataan atau realita kehidupan. Tokoh-tokohnya yang berpengaruh antara lain Zeno, Seneca, Epictetos, dan Marcus Aurelius.

Hal-hal yang ada di dalam filsafat Stoisisme benar-benar bisa dijadikan pedoman hidup sehari-hari dan dapat diimplementasikan kendati melalui proses pembelajaran yang memakan waktu dan dilakukan secara intensif.

Memahami Amor Fati

Nah, salah satu ajaran penting dalam filsafat ini adalah apa yang dikenal dengan istilah amor fati. Istilah ini merujuk pada kesediaan menerima dan mencintai takdir.

Maksudnya, jika suatu keadaan tiba-tiba menimpa, maka kaum stoik dapat menerima keadaan itu tanpa protes, tanpa merasa perlu mengeluh sama sekali. Menerima semua itu sebagai takdir.

Bagaimana mungkin terhadap suatu keadaan yang mengejutkan, seperti sendiri rumah terbakar, anggota keluarga meninggal karena kecelakaan, tidak membuat bersedih?

Kaum stoik dengan kebesaran jiwanya bisa menerima apa pun keadaan yang menimpanya, dengan ikhlas hati. Tak hanya menerima, pengikut stoik yang lebih maju bahkan mampu mencintai keadaan itu sebagaimana adanya.

Seperti pernah ditulis, orang yang rumahnya terbakar habis, misalnya, tetap bersyukur dengan mengatakan kepada anaknya,"Nak, walaupun rumah kita terbakar habis, kita harus tetap bersyukur karena dengan demikian, kita akan melihat bintang-bintang di langit setiap malam."

Tentu amat tidak mudah menerima apalagi mencintai kemalangan yang menimpa. Diperlukan kekuatan mental pada tingkat tinggi untuk bisa melakoninya dalam kehidupan nyata.

Latihan Menderita

Lalu, bagaimana menjadi seorang yang luar biasa tabah seperti itu, menjadi orang yang tetap sanggup bersyukur kendati kemalangan menimpa?

Kaum stoik dianjurkan agar melatih diri ke dalam keadaan menderita itu. Kalau kini kita kaya, misalnya, sesekali berpura-puralah menjadi orang miskin atau menjadi gelandangan yang mesti bertahan hidup tanpa uang di jalanan untuk beberapa hari.

Dengan latihan itu, diharapkan kita tidak terkejut ketika ia sungguh-sungguh ditimpa kemalangan, apa pun bentuknya. Dengan latihan menderita itu, maka secara mental ia menjadi lebih siap beradaptasi dan menerima keadaan sesulit apa pun.

Latihan menjalani penderitaan hidup (Sumber gambar:500px.com).  
Latihan menjalani penderitaan hidup (Sumber gambar:500px.com).  

Mengalir Bersama Perubahan

Kaum stoik memahami perputaran hidup. Mereka mengetahui dan menyadari bahwa yang kekal hanyalah perubahan.

Kalau sekarang kita menjadi pejabat tinggi, suatu saat kita akan menjadi rakyat biasa. Kalau sekarang kita kaya raya, bukan tidak mungkin kita akan mendadak menjadi orang miskin karena sesuatu terjadi pada kekayaan kita.

Oleh karena itu, penganut stoik selalu bersiap menghadapi perubahan yang akan terjadi pada suatu hari, perubahan yang mungkin tidak disangka-sangka. Yang terpenting adalah kesiapan mental menghadapi perubahan.

Itulah sebabnya, bagi mereka yang saat ini kaya raya, menjadi pejabat tinggi, cantik dan tampan, janganlah hendaknya takabur atau sombong. Mengapa?

Karena semua itu sifatnya sementara. Perubahan pasti terjadi, cepat atau lambat. Tak ada yang abadi di dunia ini, bukan? Seperti ditulis Herakleitos, bahwa tak satu manusia pun pernah melangkah dua kali di sungai yang sama. Karena sungai itu telah berubah, begitu juga manusianya.

Menyadari semua itu, maka sangat dianjurkan untuk bersedia menerima perubahan, perubahan apa pun yang terjadi.

Orang yang melawan perubahan akan digilas oleh perubahan itu. Ia akan terdisrupsi dengan sendirinya. Terimalah perubahan itu dan mengalirlah bersamanya.

Berbagai hal yang kita pandang sebagai hak milik akan datang dan pergi tanpa kita mampu menahannya.

Untuk mampu bersikap seperti itu, kita mesti secara bertahap mengurangi kemelekatan pada apa pun, termasuk pada orang-orang terdekat, pada kekayaan, pada jabatan dan kekuasaan, pada popularitas, dan lainnya.

Ini sebuah pelajaran yang sulit, tentu. Diperlukan kemauan keras dan kebulatan tekad untuk mempraktikkan amor fati: menerima keadaan apa pun sebagai takdir, tanpa keluh, tanpa protes.

(I Ketut Suweca, 2 Agustus 2022).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun