Untuk memetik hasil yang baik, maka kita sudah seharusnya berbuat baik. Tidak mungkin perbuatan buruk akan berbuah kebaikan. Seperti juga tidak mungkin orang menanam tanaman tomat lalu  berbuah alpukat, bukan? Begitulah hukum karma berlangsung.
Memahami risiko dari perbuatan buruk akan menghasilkan akibat yang buruk, lalu mengapa masih saja ada yang melakukannya? Bukankah secara rasional kita sudah tahu bahwa perbuatan itu pasti akan berbuah, baik atau buruk?
Alih-alih berbuat buruk, seyogianya kita memilih perbuatan baik. Mengapa harus berbuat baik? Karena kebaikanlah yang akan menjadi ganjarannya. Kebaikan sebagai hasil karma dari usaha kita setelah menanam pohon kebaikan sebelumnya.
Dengan demikian, secara rasional kita sudah seharusnya berbuat baik. Jadi, berbuat tidak baik itu memenuhi syarat rasional sebagai manusia yang paham akan hukum sebab-akibat.
Pilihan Bebas
Untuk menjadi baik atau untuk menjadi buruk adalah pilihan bebas. Anda mau berbuat buruk, silakan. Anda hendak berbuat baik, ya silakan. Setiap pilihan ada risiko yang akan ditanggung, hasilnya bisa cepat atau lambat.
Perbuatan buruk sangat mudah dilakukan. Sekarang pun Anda bisa melakukannya. Ambil dan lemparkan saja piring yang ada di meja Anda ke arah muka teman Anda. Nah, Anda akan segera tahu akibatnya, bukan?
Kapan pun dan di mana pun kita bisa berbuat hal buruk, diketahui atau tidak oleh orang lain. Tetapi, setiap perbuatan pasti berakibat yang akan kita terima, cepat atau lambat.
Sebaliknya, perbuatan baik terkadang sulit dilakukan, apalagi kita terpengaruh oleh hitung-hitungan untung-rugi.
Dengan kata lain, perbuatan baik yang bersifat transaksional dan pragmatis. Maksudnya, kala hendak berbuat baik, lalu kita bertanya, apa yang akan kita dapat dari semua itu?