Akan tetapi, penulis sendiri membaca buku, majalah, dan koran pada awalnya tidak dimaksudkan untuk menjadi penulis. Membaca, ya, membaca saja. Membaca untuk memenuhi hasrat akan ilmu pengetahuan.
Bersamaan dengan bergulirnya waktu, perlahan-lahan muncul keinginan untuk mencoba menulis. Mengapa? Karena penulis yakin bisa menulis seperti para penulis di majalah atau di koran yang kebetulan penulis baca karyanya.
Nah, dengan bekal keyakinan dan kemauan untuk mencoba, akhirnya penulis pun memberanikan diri mengirim naskah ke koran daerah dan nasional. Ada yang berhasil dimuat dan banyak pula yang ditolak atau tidak dimuat.
Menyenangkan sekali kalau tulisan yang dikirim berhasil dimuat di media massa. Dan, tentu saja penulis juga merasa kecewa kalau naskah yang penulis kirim tidak dimuat. Rasanya sia-sia membuatnya. Sudah berpikir lama, mengetik, mengedit, mengirim, menunggu, tapi tak dimuat.
Akan tetapi, penolakan itu tidak membuat penulis berhenti menulis untuk koran dan majalah. Semakin lama, semakin bertambah jumlah artikel penulis yang dimuat. Ini, lagi-lagi, menambah semangat untuk terus mengarang. Apalagi setelah dimuat, redaksi mengirim honorariumnya.
Penulis pernah membaca bahwa belumlah lengkap bagi seorang penulis kalau dia belum menerbitkan buku. Buku adalah karya tertinggi bagi seorang penulis. Begitu kurang-lebih isi artikel itu, entah penulis membacanya di media mana.
Berangkat dari ungkapan tersebut, penulis pun berpikir untuk menulis buku. Penulis tahu bahwa menulis dan menerbitkan buku itu tentu tidak mudah.
Mesti punya tulisan yang relatif panjang, ada penerbit yang siap menerbitkan, ada uang untuk membiayai, ada ada tenaga dan waktu untuk mengurusnya.
Waktu yang dibutuhkan relatif panjang. Berbeda sama sekali dengan penerbitan artikel di koran atau majalah yang hanya memerlukan 1-2 minggu naskah sudah dimuat atau ditolak.
Setelah belajar dari berbagai sumber dan bertanya kepada mereka yang sudah punya pengalaman menerbitkan buku, akhirnya penulis membulatkan tekad untuk menulis buku.