Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengeluh Itu Perlu, Tidak Perlu, Perlu Tidak?

9 Mei 2022   19:14 Diperbarui: 9 Mei 2022   19:15 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang mengeluh (Sumber gambar: wattpad.com).

Apakah Anda pernah mengeluh? 

Saya yakin jawabannya adalah "ya." 

Rasanya, setiap orang pernah mengeluh dalam hidupnya. 

Biasanya, semakin berumur semakin berderet-deret jumlah keluhan yang pernah dilontarkan. 

Boleh jadi sudah tak terhitung lagi.

Mengeluh Itu Wajar?

Mengeluh bagi kita merupakan hal yang biasa atau wajar dilakukan, sewajar kita bergembira saat mendapatkan hadiah, keberuntungan atau keberhasilan. Akan tetapi, jika kita mengeluh dan mengeluh terlalu sering, masihkah bisa ditoleransi?

Keluhan demi keluhan yang terlalu sering dilontarkan tentu saja menjauhkan kita dari kesehatan mental. Kita akan menjadi manusia negatif.

Artinya, kita hanya memandang hampir semua hal yang kita lihat dan rasakan dari sisi negatif atau kekurangannya saja. Padahal, kita juga tahu bahwa di muka bumi ini tak ada yang benar-benar sempurna.

Dalam beberapa kasus, orang mengeluh dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian atau atensi. Mungkin dia membutuhkan bantuan atas persoalan yang sedang dihadapinya.

Dijauhi Rekan Kerja

Kalau dilakukan sekali waktu, mungkin tak mengapa. Tetapi, jika dilakukan terlalu sering dan terus-menerus, di sinilah persoalan akan muncul.

Sebagian orang tidak akan senang bekerja dengan orang yang sedikit-sedikit mengeluh. Mereka akan merasa terganggu oleh keluhan demi keluhan itu.

Bukannya solusi yang dicari atau diusahakan, melainkan hanya sekadar mengeluh, tidak lebih dari itu. Siapa suka berteman dengan si pengeluh semacam ini?

Bagi sebuah perusahaan atau instansi pelayanan publik, keluhan pelanggan menjadi masukan untuk memperbaiki layanan atau kinerja. Keluhan bisa menjadi salah satu indicator pengukur performa lembaga.

Jika keluhan itu dapat diatasi dengan baik, bahkan dengan layanan yang lebih baik lagi, maka kepercayaan (trust) masyarakat pelanggan akan semakin baik. Jika tidak tertangani dengan semestinya, maka sebaliknyalah yang akan terjadi. Kepercayaan pelanggan atau konsumen akan merosot.

Upaya Menemukan Solusi

Kalau Anda atau saya menjadi pribadi yang di-cap sebagai si pengeluh, apakah bersedia? Dalam konteks tertentu dan terbatas, mengeluh itu wajar saja seperti dijelaskan di atas. Namun, mengeluh yang tidak berkesudahan hanya akan menjadi boomerang bagi diri sendiri.

Terkait dengan itu, ada baiknya dipertimbangkan hal-hal berikut ini untuk mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan mengeluh.

Pertama, biasakan melihat nilai positif dari suatu hal.

Melihat sesuatu atau melihat orang lain, kita mungkin masih terbelenggu dengan kecenderungan melihat sisi negatifnya.

Terkait ini, saya punya teman yang suka mengeluh. Yang paling sering dikeluhkan tentang makanan yang dibelinya.

Ketika menikmati makanan, ia piawai melihat kekurangan pada makanan itu, kurang inilah kurang itulah. Selalu ada cacat-cela pada makanan yang disantapnya.

Ya bumbunyalah, ya potongan sayurnyalah, ya sambalnya, dan masih banyak lagi. Yang paling sering dia keluhkan adalah soal rasa makanan. Menariknya, ia tidak pernah sekalipun mengeluhkan masakan yang dibuatnya sendiri.

Kedua, lebih banyak beryukur.

Alih-alih selalu mengeluh, mengapa tidak memperbanyak bersyukur? Dengan banyak bersyukur, kita akan mampu melihat segala sesuatunya dari sisi positifnya. Kita jadi menyadari bahwa ada banyak karunia Tuhan yang sudah dilimpahkan kepada kita.

Kita pun menjadi lebih mudah menerima keadaan, tanpa perlu mengeluh. Orang yang pandai bersyukur akan mampu melihat hal-hal positif dan baik dari segala sesuatu.

Orang seperti ini akan dengan mudah menyadari bahwa tiada yang sempurna di dunia ini. Hanya Tuhan yang sempurna. Ia juga pandai mensyukuri hidup yang dijalaninya.

Dengan selalu bersyukur bukan berarti dia bersikap pasrah. Ia tetap berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan seraya tak pernah lupa memanjatkan doa. Disadari bahwa kewajibannya adalah berusaha sebaik-baiknya, sedangkan hasil akhir diserahkan kepada Tuhan.

Ketiga, memahami batas kendali.

Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada juga yang tidak. Jika kita seorang mahasiswa, misalnya, kewajiban kita akan berusaha belajar dengan baik demi hasil ujian yang baik. Kalau ingin mendapatkan nilai bagus, kewajiban sebagai mahasiswa adalah belajar dengan sebaik-baiknya.

Akan tetapi harus diingat bahwa nilai ujian itu tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar usaha kita dalam belajar, kendati ini menjadi faktor yang berpengaruh signifikan.

Masih ada faktor lain di luar itu, di antaranya adalah dosen penilai. Bagaimana pendapat atau penilaian dosen terhadap jawaban ujian, ini juga berpengaruh terhadap besaran nilai yang kita peroleh.

Artinya, ada faktor luar yang uncontrollable yang mesti kita sadari. Ada yang bisa kita usahakan, dan ada juga yang tidak bisa kita kendalikan. Dalam konteks ujian, yang kita bisa usahakan adalah belajar dengan sebaik-baiknya. Sedangkan,  penilaian dosen adalah bagian yang berada di luar kendali kita.

Kalau hal penting seperti ini kita sadari, maka kecenderungan mengeluh jauh lebih kecil. Kita akan lebih bisa menerima keadaan atau hasil, terutama terhadap adanya faktor penentu yang berada di luar kontrol kita.

Keempat, berkontribusi untuk menjadi lebih baik.

Kalau harus juga mengeluh, maka keluhan hendaknya tidak berhenti pada keluhan, melainkan ada solusi yang ditawarkan. Ada banyak orang yang doyan mengeluh, tapi tidak memberikan pertimbangan atau masukan bagaimana bisa keluar dari keadaan. Mereka berhenti di tingkat mengeluh atau menyalahkan pihak lain saja.

Ada juga yang terkadang mengeluh, tetapi mencoba berusaha memberikan alternatif jalan keluar dari permasalahan. Tidak hanya sebatas pemikiran, ia juga langsung bertindak demi kebaikan.

Misalnya, gang di depan rumahnya mengalami kerusakan. Ada lobang menganga yang cukup membahayakan pengendara yang melewatinya.  Ia tak hanya mengeluh dan menunggu agar pemerintah atau pihak lain memperbaikinya, melainkan berinisiatif menutup kerusakan itu tanpa perlu menyalahkan siapa pun.

Contoh lain, ada orang tidak berpunya di sekitar rumahnya. Alih-alih menyalahkan pemerintah yang dipandang tidak peduli terhadap orang seperti ini, dia memilih segera membantu memberikan jalan untuk mengajukan permohonan bantuan. Atau, dia sendiri memilih turun-tangan memberikan bantuan pendidikan bagi anak orang miskin itu semampunya.

Kehidupan hendaknya jangan diisi dengan keluhan demi keluhan semata. Seyogianya diisi dengan usaha dan rasa syukur, juga berkontribusi kepada sesama sekecil apapun itu.

Hidup akan menjadi lebih damai dan bahagia dengan menerapkan filosofi life without complaint.  Sulitkah? Mungkin ya, tapi mesti kita usahakan. Minimal dikurangi kebiasaan mengeluh itu.

(I Ketut Suweca, 9 Mei 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun