Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Renungan Nyepi (1): Lakukan Saja Hal Ini agar Hidup Lebih Tenang dan Bahagia!

3 Maret 2022   05:06 Diperbarui: 4 Maret 2022   10:43 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Hindu melakukan persembahyangan yang menjadi bagian dari Upacara Tawur Agung di Pura Parahyangan Jagat Guru Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (2/3/2022). Upacara Tawur Agung yang merupakan rangkaian dari perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1944 di Tangerang berjalan aman dan lancar serta menerapkan protokol kesehatan. Sumber: Antara Foto/Muhammad Iqbal via Kompas.com

Nyepi datang lagi. Nyepi menjadi momentum yang baik untuk melakukan refleksi diri. Nyepi adalah saatnya untuk merenung kembali atas apa yang sudah dijalani selama ini sekaligus melakukan mawas diri, mulat sarira.

Tidak Ada yang Peduli

Ijinkan saya menulis renungan Nyepi 2022 ini diawali dengan sebuah kasus nyata dalam kehidupan. Kasus yang barangkali juga pernah bahkan sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Mungkin juga mengenai diri kita.

Seorang sahabat muda menyampaikan keluhannya. Ia mengaku sudah bekerja dengan rajin. Tidak pernah melalaikan tugas, bahkan terkadang bekerja dengan porsi lebih dari yang seharusnya.

"Tetapi, tak ada perhatian dari atasan saya. Teman di ruangan juga terkadang nyinyir terhadap saya".

"Kalau ada kesalahan kecil saja, saya akan dikritik dengan pedas."

"Sebaliknya, jika saya bekerja dengan baik bahkan menambah porsi waktu kerja, tak seorang pun peduli. Saya sering merasa jengkel dengan sikap mereka," begitu keluhnya.

Hukum Sebab-Akibat Itu Pasti

Nyepi, saatnya mawas diri (Sumber gambar: inet.detik.com)
Nyepi, saatnya mawas diri (Sumber gambar: inet.detik.com)

Beranjak dari kasus itu -- dan pada saat Hari Raya Nyepi ini, mari kita mencoba merenung lebih dalam.

Terlepas dari bagaimana seorang atasan atau orang lain menilai atau bersikap, bagaimana seyogianya kita menanggapi hal seperti ini dan menyiasati hidup pada umumnya?

Apa yang dikeluhkan sahabat di atas wajar-wajar saja. Sangat manusiawi sifatnya. Manusia memang perlu perhatian, perlu didengar, diatensi, dan dihargai atas apa yang dilakukannya. Jika itu tidak didapat, cenderung menghasilkan keluhan.

Akan tetapi, menurut saya, kalau kita sudah memilih untuk bekerja dengan rajin dan tulus, ya lakukan saja. Kita tidak perlu minta dihargai, dipuji, diatensi oleh orang lain, termasuk oleh atasan kita. Bukankah bekerja itu sebuah kewajiban (swadarma)?

Kewajiban itu mengandung tugas dan tanggung jawab yang patut ditunaikan dalam kehidupan. Jika tidak dilakukan, tentu salah. Jadi, lakukan kewajiban hidup dengan sebaik-baiknya, entah mendapatkan apresiasi atau tidak.

Nah, kalau kita berbuat baik, lalu orang tidak peduli, tidak menghargai, tidak memberikan atensi -- bahkan ada pula yang mencemooh, jangan hendaknya dirisaukan benar. Bukankah ada hukum sebab-akibat (karmaphala) yang selalu berlaku?

Setiap perbuatan -- baik atau buruk, pasti akan berbuah. Buah yang merupakan hasil perbuatan pasti akan diterima, sekarang atau nanti. Ini sebuah keniscayaan.

Oleh karena itu, tidak perlu mengeluh kalau kita tidak dihargai orang saat kita berbuat kebaikan dalam melaksanakan kewajiban. Mengapa? Karena kerja kita tetap saja akan berbuah, cepat atau lambat. Kini atau nanti.

Keheningan Nyepi (Sumber gambar: tribunnews.com).
Keheningan Nyepi (Sumber gambar: tribunnews.com).

Kebenaran dan Kebaikan

Lagi pula, jangan sampai kita menjadi ketergantungan pada pendapat atau penilaian orang lain. Atau, kita menjadi begitu mengkhawatirkan pendapat orang lain terhadap apa yang kita lakukan.

Ketergantungan dan kekhawatiran seperti itu hanya akan membuat susah diri sendiri. Sebab, pendapat orang bisa berbeda-beda satu dengan yang lain, dan bisa pula berubah-ubah setiap saat. Mengapa itu dirisaukan?

Seyogianya kita bersandar pada kebenaran dan kebaikan. Kalau kita merasa yakin bahwa apa yang kita lakukan itu sudah baik dan benar, tidak merampas hak orang lain, tidak melanggar hukum atau perintah agama, mengapa ragu? Mengapa tidak dilanjutkan?

Apa pedulinya kita terdapat pendapat orang lain -- yang nota bene, berangkat dari persepsi dan kepentingan mereka masing-masing. Emangnya gue pikirin? Begitu orang berseloroh.

Ubah yang Bisa Diubah

Satu hal yang harus kita ingat, bahwa ada hal yang bisa kita ubah, ada juga yang tidak. Pendapat orang lain dan keadaan atau kejadian di sekitar, dalam banyak kasus, tak bisa kita ubah. Berada di luar kontrol kita.

Misalnya, ketika kita hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Apakah kita akan menggerutu atau mengutuk hujan? Jatuhnya hujan itu berada di luar kontrol kita. Ini tidak bisa  kita ubah.

Sebaliknya, kita hanya bisa mengubah hal-hal yang memang bisa kita ubah. Pikiran, ucapan, dan tindakan kita sendirilah yang bisa kita ubah atau sesuaikan karena ini berada dalam kontrol kita.

Terkait contoh tentang hujan di atas, misalnya, kita tidak bisa mengutuk dan memerintahkan hujan berhenti. Tidak bisa, karena itu dalam kuasa Tuhan.

Apa yang bisa kita ubah, itulah yang menjadi urusan kita. Misalnya, kita akan menunggu hujan reda atau menerobos hujan dengan menggunakan mantel atau jas hujan. Atau, kita tidak menggunakan sepeda motor, melainkan mengendarai mobil.

Inilah hal-hal yang bisa kita lakukan dan kita kontrol. Tidak lalu menggerutu terhadap keadaan yang terjadi.

Dengan kata lain, yang bisa kita kendalikan adalah tanggapan atau respons kita terhadap semua hal di sekitar kita yang sifatnya uncontrollable.

nyepi-2022-3-png-621fe99c3179497eec5c2ac2.png
nyepi-2022-3-png-621fe99c3179497eec5c2ac2.png
Bersiap untuk menyambut keheningan Nyepi (Sumber gambar:kitalulus.com)

Tidak Mudah Terombang-ambing

Dalam kasus keluhan sahabat tadi, yang seyogianya dilakukan adalah tetap tekun bekerja. Tetap konsisten pada pendirian dan tidak mudah terombang-ambing oleh pendapat atau penilaian orang lain.

Mesti juga selalu berpegangan pada hukum universal yaitu hukum sebab-akibat (kausalitas): apa yang ditanam, itulah yang akan dituai.

Di samping itu, harus selalu diingat dan dipedomani bahwa ada bagian kehidupan yang bisa dikontrol, yaitu pikiran, perkataan, dan perilaku diri sendiri. Ada juga yang di luar kontrol yaitu pikiran orang lain dan peristiwa atau kejadian.

Lepaskan harapan berlebih terhadap keadaan dan pendapat orang lain yang sudah jelas berada di luar kontrol kita.

Sebaliknya, pikirkan dan lakukan sesuatu yang berada dalam kuasa kita. Tetaplah berpegang pada kebenaran dan kebaikan. Dengan demikian, hidup akan lebih tenang dan bahagia.

(I Ketut Suweca, Nyepi, 3 Maret 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun