Pada suatu kesempatan saya membaca tulisan seorang kawan lama. Ia dosen prodi Bahasa Indonesia di sebuah perguruan tinggi negeri di Bali dan banyak menulis artikel opini dan sastra. Artikelnya di media digital itu  mengulas tentang tutupnya sebuah toko buku terakhir di kota Singaraja, Buleleng, Bali.
Toko Buku Tutup
Deg. Saya merasa sedih. Toko tersebut adalah Toko Buku Togamas, satu-satunya tempat saya berburu buku di kota ini yang masih tersisa. Dan, setiap kali membeli buku  pasti pembeli akan mendapatkan diskon.
Namun, kini toko tersebut sudah tutup. Saya berpikir, ke mana saya harus mendapatkan buku bacaan terdekat? Saya mesti ke Denpasar (?) atau membelinya secara online. Atau, cukup dengan membaca e-book via internet.
Dulu, di kota kecil Singaraja ada sejumlah toko dan kios buku yang berkembang dengan baik. Saya selalu sempatkan singgah ke situ untuk sekadar melihat-lihat dan membaca, apakah ada buku-buku baru yang menarik. Sesekali membeli buku di sana.
Seingat saya ada beberapa toko dan kios buku. Paling tidak ada lima buah, yaitu dua kios dan tiga toko. Akan tetapi, satu demi satu toko dan kios itu tutup. Dan, yang menjadi harapan saya terakhir, Toko Buku Togamas pun tutup.
Toko buku ini sudah cukup lama buka di Singaraja, tapi pada akhirnya tutup juga. Dulu, TB Gramedia juga sempat buka beberapa lama di kota ini, kemudian memilih menutup usahanya.
Ada apa? Saya tidak tahu persis jawabannya. Saya tidak pernah menanyakan mengapa mereka memilih menutup toko dan kiosnya.
Tidak laku? Jika ya, mengapa tidak laku? Padahal, dari sisi kebutuhan akan buku, saya kira, sangatlah besar.
Ada dua kampus negeri yang besar dan empat kampus swasta di daerah ini. Para civitas-nya, saya yakini, membutuhkan bahan bacaan yang bisa mereka beli di toko buku.
Belum lagi terdapat ratusan sekolah SD, SMP, SMA, dan sederajat di wilayah Bali Utara ini yang bisa menjadi pangsa pasar buku-buku itu. Para pendidik -- dosen dan guru, mahasiswa dan siswa, tentu membutuhkan bahan bacaan.
Tetapi, apakah tidak ada korelasi antara jumlah sekolah dan perguruan tinggi dengan kebutuhan akan toko buku?
Apa Penyebabnya?
Saya termenung. Mungkin saja ada sejumlah persoalan yang mengakibatkan toko-toko buku itu gulung tikar. Tapi, ini masih perkiraan saya saja.
Pertama, kurangnya minat membaca buku. Kalau minat membaca buku kurang atau tidak ada, siapa yang akan membeli dan membaca buku yang dijual di toko?
Kalau miskin akan minat membaca buku, orang tidak akan tertarik mendatangi toko buku. Mereka akan memilih datang dan membelanjakan uangnya ke restoran, ke toko pakaian, atau ke tempat wisata.
Kedua, memilih mencari informasi melalui internet. Nah, saya memperkirakan, orang lebih banyak memilih cara ini sekarang dan masa datang.
Banyak pengetahuan dan informasi yang bisa diakses dengan mudah di internet. Mau informasi atau pengetahuan apa pun tersedia. Ada google yang bisa membantu, ada youtube yang memudahkan pencarian informasi.
Orang mungkin berpikir, kalau informasi itu demikian mudah didapat melalui internet, bahkan tanpa harus merogoh kantong dalam-dalam, mengapa mesti membeli buku?
Generasi milenial tentu lebih memilih mendapatkan berbagai informasi dan pengetahuan yang diperlukan melalui internet.
Ketiga, lebih suka ngobrol. Daripada membaca, banyak orang lebih suka ngobrol. Mereka malas membaca buku karena membaca itu membutuhkan konsentrasi yang intens dan dianggap melelahkan. Berbeda halnya dengan ngobrol yang bisa dilakukan secara santai dan ringan.
Toh, melalui ngobrol pun mereka akan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dari orang lain. Budaya lisan yang sudah ada sejak zaman baehula rupanya masih terpelihara hingga kini.
Keempat, lebih suka menonton. Unsur audio-visual sebuah tontonan, boleh jadi jauh lebih menarik dibandingkan dengan buku. Itulah sebabnya orang lebih memilih menonton video di youtube, televisi, podcat, dan sejenisnya untuk mendapatkan informasi.
Berbeda dengan membaca buku, kegiatan menonton atau memirsa dipandang oleh sebagian besar orang lebih nyaman dan tidak memeras pikiran dan konsentrasi. Siapa yang tak mau memilih yang lebih santai?
Terlindas Kemajuan Zaman
Itulah beberapa kemungkinan mengapa orang meninggalkan buku cetak, mengapa toko dan kios buku tutup. Banyak orang memilih mengakses informasi dengan mudah melalui internet, ngobrol atau menonton video di kanal youtube
Semuanya itu telah meminggirkan minat terhadap buku cetak. Era buku cetak menyurut dan era digital menggantikannya.
Akibatnya, toko-toko buku semakin langka pembeli, merugi, dan tak mampu membiayai operasionalnya sehingga akhirnya memilih tutup. Itulah fenomena yang tengah terjadi.
Akankah toko buku -- dan buku cetak, segera menjadi sejarah masa lalu, terlindas oleh kemajuan zaman?
(I Ketut Suweca, 28 Februari 2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H