Nama anjing kami, Broko. Kok namanya aneh sih? Ya, itu nama yang sengaja saya berikan. Nama tersebut tentu saja ada kisahnya. Seperti apa?
Anjing Kintamani
Kisah ini berawal ketika saya membeli peralatan listrik, yakni beberapa sakelar dan sebuah stop kontak.  Pada saat membeli, saya tidak memerhatikan mereknya, hanya  minta kepada pedagang di toko agar saya diberikan yang berkualitas bagus dan aman. Ketika mulai memasangnya di rumah, barulah saya tahu bahwa peralatan listrik itu bermerek Broco.
Sedang asyik memasang peralatan tersebut, tiba-tiba tamu datang. Rupanya paman dari istri berkunjung ke rumah. Ia membawa seekor anjing mungil berwarna putih bersih.
"Ini Pak bawakan anjing," ujarnya sambil menyerahkan anjing itu kepada saya. Sebagai gantinya, kami sepakat memberi paman sejumlah uang, meski tidak banyak. Sekadar sebagai tanda pelepasan anjing itu dari pemiliknya.
Konon, dengan menukarkannya dengan uang, anjing itu akan betah di rumah dan putus hubungan dengan pemilik lamanya. Believe it or not.
Kata paman, anjing itu jenis Kintamani, anjing khas Bali yang banyak hidup dan berkembang di daerah Kintamani, Bangli, Bali.
Tubuhnya yang berukuran sedang, moncongnya yang ketika  masih bayi agak tumpul, ekornya yang cenderung berdiri, dan bulunya yang putih bersih, menyebabkan kami sangat menyukainya. Pada dasarnya kami sekeluarga menyukai hewan peliharaan, baik anjing maupun kucing.
Memberi Nama
Kami pun mencari nama yang cocok untuk si pendatang baru ini. Yang terpikir waktu itu adalah nama Broco, merek peralatan listrik yang saya pasang bertepatan dengan hadirnya anjing kecil mungil itu. Akhirnya, saya cetuskan memberinya nama Broko saja, hanya mengubah huruf  c menjadi k.
Kami memelihara Broko dengan kasih-sayang. Memberinya makan dua kali sehari. Sesekali memberinya susu atau snack. Memandikannya minimal sekali seminggu, lebih sering dua kali seminggu.
Tidak lupa mendatangkan dokter hewan untuk menyuntiknya secara berkala agar terhindar dari penyakit. Broko pun tumbuh menjadi anjing yang sehat, lincah, dan pintar.
Badannya tumbuh sempurna, bulunya putih bersih. Ekornya yang menjulur ke atas dan melengkung bagai kipas. Perilakunya  menyenangkan.
Setiap kali salah seorang dari kami datang dari luar, dia pasti akan menyambut dengan berlari ke pintu pagar rumah. Ia akan menggonggong senang dan mengibas-ibaskan ekornya yang indah.
Broko punya kandang sebagai tempat tidur. Pada awalnya kami sering melatihnya untuk masuk ke kandang dengan dituntun agar mau masuk. Belakangan karena sudah terbiasa, setiap kami ucapkan kalimat "masuk kandang", ia akan segera masuk. Ia patuh.
Broko juga penjaga rumah yang baik. Tidak pernah lalai mengawasi orang lain yang hendak masuk ke rumah. Apabila dia melihat orang tidak dikenal berada di pintu pagar rumah, ia pasti menggonggong.
Ia baru akan diam ketika kami menerima kehadiran tamu itu. Broco akan segera mengalihkan perhatiannya ketika ia tahu kami telah menerima tamu tersebut.
Saya, istri, dan kedua anak kami menyayanginya. Kami sering memandikannya secara bergantian. Ia terbilang anjing yang suka hidup bersih.
Ia suka sekali dimandikan. Kalau kami bilang, "mandi yuk" ia akan berlari mendekat. Saat diguyur air dan tubuhnya digosok dengan sabun, Broko hanya diam, kalem. Sama sekali tidak menolak atau memberontak ketika kami mandikan.
Jatuh Sakit
Tibalah saat-saat terakhir hidupannya. Ia sakit, entah apa nama penyakitnya dan apa penyebabnya. Broko sering muntah, tubuhnya lemas, dan tidak bertenaga.
Kakinya tampak lemas, nyaris tidak sanggup berjalan. Dua kali kami undang dokter hewan untuk mengobatinya, tetapi tidak berhasil menyembuhkannya.
Pada hari terakhir hidupnya, Broko tampak lemah sekali. Ia tergeletak di halaman rumah. Matanya tampak sayu. Saya memboyongnya ke teras, lalu memanggil dokter hewan untuk mengobatinya. Tetapi, apa lacur, dokter belum tiba, Broco sudah duluan mati.
Merindukan Broko
Anak laki-laki saya siang itu datang dari sekolah. Yang pertama ditanyakannya adalah bagaimana keadaan Broko, karena ia tahu anjing tersebut dalam keadaan sakit.
Ketika saya dan istri hampir bersamaan mengatakan Broko sudah mati dan sudah dikubur, ia terlihat sangat sedih. Malu memperlihatkan tangis di depan ibu-bapaknya, ia masuk kamar sambil mengusap air matanya.
Broko telah mengabdikan hidupnya untuk kami. Broko sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Dan, ketika ia meninggalkan kami selamanya karena sakit, kami pun merasa sangat berduka.
Hari-hari setelah kematiannya, kami masih merindukannya, terngiang gonggongannya, mengingat kibasan ekornya yang indah, juga merasakan kesetiaannya.Â
Selamat jalan Broco sayang.
( I Ketut Suweca, 16 November 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H