Setiap kali ada kampanye, kehadiran baliho demikian semarak. Di sepanjang jalan, di perempatan jalan, penuh dengan baliho. Baliho itu seakan-akan sedang berebutan tempat dan saling berdesakan.
Setiap baliho diharapkan dapat menarik perhatian khalayak yang melintas. "Pertarungan" antarbaliho pun terjadi, sebagai bentuk nyata persaingan politik yang tengah dilakukan oleh mereka yang berada di balik baliho itu.
Budaya Baliho
Ada baliho yang berukuran jumbo, tampak gagah, dan tinggi. Ditempatkan di lokasi yang khusus dan strategis. Ada juga yang sedang-sedang saja ukurannya. Tak kurang pula yang dibuat sederhana dan bahkan ditempel seadanya di batang pohon.
Begitulah budaya baliho politik di negeri tercinta ini. Melalui baliho sang calon legislatif atau eksekutif memperkenalkan dirinya kepada publik secara lebih luas.
Mereka berharap, dengan pemasangan gambar ini, masyarakat menjadi jelas bahwa yang bersangkutan sedang berjuang menuju kursi yang diidam-idamkannya. Istilah kerennya: sedang berjuang untuk mendapatkan kesempatan memperbaiki nasib rakyat agar lebih baik.
Besar-kecilnya baliho, banyak-sedikitnya baliho yang ditebar banyak tergantung pada kemampuan finansial sang calon. Jika ia ingin agar lebih dikenal dengan cepat dan luas, maka mungkin saja ia akan membuat banyak baliho dan disebarkan merata di wilayah pemilihannya. Untuk ini, diperlukan kemampuan pendanaan yang cukup.
Mengapa Memilih Media Baliho?
Pertanyaannya, mengapa masih saja orang menggunakan baliho untuk media promosi alias kampanye politik? Bukankah itu sudah kuno?
Tidak ada yang salah dengan penggunaan baliho dalam berkampanye politik. Toh media ini sudah sangat familiar di masyarakar.
Bukankah kita sudah terbiasa melihat baliho bertebaran di pinggir jalan begitu mendekati perhelatan politik? Akan menjadi hal yang aneh kalau tiba-tiba saja tidak ada satu pun calon yang tidak menggunakan baliho. Jangan-jangan masyarakat rindu kesemarakannya.
Seringkali masyarakat melihat pemasangan baliho yang tidak rapi dan tidak pada tempatnya telah mengganggu keindahan sebuah kota. Ketidaktertiban pemasangan baliho menimbulkan protes masyarakat, apalagi diletakkan di wilayah mereka.
Oleh karena itu, pemerintah akhirnya mesti turun tangan untuk menegur pemasangnya dan bila dipandang perlu menurunkan baliho tersebut.
Seyogianya, pemasangan baliho mesti benar-benar memperhatikan tempat yang diijinkan dan cara pemasangannya agar tampak rapi dan indah.
Penggunaan Media Sosial
Sebenarnya ada banyak alternatif dalam berkampanye, tidak hanya melalui media baliho. Orang bisa berkampanye melalui media cetak, media elektronik, dan media sosial yang berkembang belakangan ini di samping tatap-muka (face to face).
Benar sekali. Tentu saja sang politisi tidak akan menggunakan media baliho sebagai satu-satunya cara atau metode berkampanye.
Mereka pun bisa memilih dan memanfaatkan media elekronik seperti radio dan televisi yang ada di daerah. Mereka juga bisa memanfaatkan koran lokal untuk berkampanye. Itulah beberapa pilihan yang mungkin digunakan.
Yang dipandang paling strategis saat ini adalah media yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi dan internet. Apalagi kalau bukan media sosial yang banyak penggunanya.
Media sosial merupakan salah satu pilihan yang memberikan harapan untuk menjangkau calon pemilih yang lebih luas dengan harga relatif murah dan sangat praktis. Apalagi pengguna internet di negeri ini terbilang sangat besar.
Media sosial memiliki banyak keunggulan. Di samping materi kampanye bisa dirancang tidak terlalu rumit, juga segera dapat dipublikasikan (diunggah). Biayanya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan menggunakan iklan di koran, televisi, dan lainnya.
Hal-hal mengenai kebaikan atau kedermawanan sang calon akan dengan cepat menyebar melalui media sosial. Masyarakat pun akan mudah mengetahui tentang siapa sang calon, kendati hanya sebagian kecil saja yang sifatnya di permukaan.
Sebaliknya, jika ada hal-hal negatif tentang sang calon yang diunggah oleh pihak lain, maka akan mudah juga menyebarnya. Bahkan mungkin lebih cepat daripada kisah tentang kebaikan atau kedermawanan sang kandidat.
Jadi, risiko menggunakan media sosial itu relatif besar mengingat masih banyak orang yang lebih suka mengekspose keburukan daripada kebaikan seseorang. Apalagi setiap orang kini bisa menulis apa pun yang menjadi pendapat atau komentarnya melalui media sosial yang terkadang di luar etika.
Akhirnya, tentu saja dikembalikan kepada sang kandidat, mau menggunakan media apa dalam berkampanye politik. Sebelum menentukan pilihan, mereka memang harus melihat dan mempelajari trend perkembangan penggunaan media yang tersedia.
(Â I Ketut Suweca, 21 Agustus 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H