Saya menyukai aktivitas menulis sejak masih belia. Tulisan-tulisan itu saya kirim ke media massa cetak. Ada sejumlah media yang memuat artikel saya. Tidak hanya koran, juga tabloid, dan majalah lokal.
Senang rasanya melihat tulisan-tulisan sederhana tetapi saya banggakan itu dimuat di beberapa media.
Upaya Mendokumentasikan Karya
Agar tidak hilang, tulisan itu biasanya saya dokumentasikan dengan cara mengkliping. Saya potong bagian artikel tersebut, lalu pada bagian atasnya, akan saya tuliskan nama koran yang memuatnya, hari dan tanggal pemuatan, dan halaman tempat dimuatnya tulisan tersebut. Selanjutnya, saya lem dan tempelkan di secarik kertas HVS.
Pengklipingan saya lakukan terhadap setiap tulisan yang termuat di koran atau di tabloid, tetapi tidak untuk yang dimuat di majalah.
Saya merasa kasihan saja kalau  harus memotong halaman majalah itu. Saya biarkan ia utuh. Jika berniat membaca tulisan itu, saya tinggal membuka-buka majalah itu kembali.
Harus saya akui, tidak semua tulisan yang pernah dimuat di media massa tersebut berhasil saya dokumentasikan. Sebagian di antaranya tidak bisa saya lakukan.
Penyebabnya? Salah satunya karena saya tidak berlangganan media yang memuat tulisan saya tersebut. Kalau pun dicari di toko atau agen, keburu habis. Akibatnya, beberapa tulisan yang tidak saya temukan otomatis tidak terdokumentasi.
Kebiasaan mendokumentasikan tulisan itu berlanjut hingga sekarang. Karena belakangan saya hanya menulis di majalah yang pernah saya asuh dan di kompasiana, ya, saya tidak mungkin mengklipingnya.
Saya hanya menyimpan majalah yang memuat tulisan tersebut. Untuk sejumlah artikel di kompasiana, beberapa di antaranya yang sejenis saya kumpulkan dan terbitkan menjadi buku.
Manfaat Mendokumentasikan Karya Tulis
Kalau ditelaah lebih jauh, mengapa kita merasa perlu repot-repot mendokumentasikan karya tulis? Tidakkah itu pekerjaan yang mubazir alias membuang-buang waktu?
Menurut saya, mendokumentasikan karya memang semestinya dilakukan dengan beberapa pertimbangan seperti berikut ini.
Pertama, menghindari hilangnya dokumen.
Kita mungkin terkadang teledor dalam hal penyimpanan dokumen karya tulis kita. Misalnya, tulisan kita yang sudah dimuat di koran, tidak kita dokumentasikan atau kliping dengan baik.
Koran yang memuat tulisan itu tidak ketemu lagi atau mungkin kita buang begitu saja. Akhirnya, kita menyesal di kemudian hari mengapa tidak mengklipingnya sesegera mungkin setelah membaca koran tersebut.
Kedua, melihat perkembangan pemikiran.
Tulisan-tulisan tersebut adalah serangkaian catatan sejarah kehidupan seseorang, khususnya perjalanan yang berkenaan dengan pergerakan pemikirannya dari waktu ke waktu.
Saya, misalnya, sudah menulis selama bertahun-tahun. Kalau saya ingin melihat seperti apa pemikiran saya pada awal-awal menulis, saya bisa buka tulisan tempo doeloe itu.
Dari catatan sejarah itu, kita bisa melihat seperti apa perkembangan kemampuan pemikiran kita, termasuk seperti apa peningkatan pengetahuan kita.
Kalau melihat tulisan-tulisan lawas yang dimuat di koran itu, terkadang saya senyum-senyum sendiri. Dalam hati berkata, "Eh, ternyata saya bisa menulis seperti ini dulu ya."
Ketiga, bahan motivasi untuk berkarya.
Saya memiliki kebiasaan untuk membaca kembali karya tulis lama. Sesekali, saya rindu melihatnya dan membacanya sekilas. Dengan begitu saya merasa senang. Tujuan utama saya bukan sekadar membaca dokumen lama itu, bahkan lebih dari itu.
Membaca tulisan-tulisan lawas memberi spirit atau semangat kepada saya untuk menulis lagi dan lagi. Terkadang semangat menulis bisa redup, bukan?
Kalau ingin menyemangati diri menulis, maka saya akan buka-buka lagi tulisan zaman dulu itu. Dengan begitu, saya bisa bersemangat untuk mengambil laptop dan mulai mengetik.
Keempat, warisan untuk anak-cucu.
Kalau cucu pada suatu saat nanti bertanya, apa saja yang ditulis kakek atau neneknya dulu, apa yang bisa dijawab? Mungkin sekadar penjelasan lisan seadanya atau seingatnya dari orang yang mengenal kita sebagai penulis ketika masih hidup.
Akan tetapi, jika masih ada warisan berupa dokumentasi artikel, majalah, tabloid, dan buku, maka dokumen itulah yang akan 'berbicara' kepada cucu atau siapa pun yang bertanya nantinya.
Oleh karena itu, perlu upaya mendokumentasikan karya tulis yang pernah kita buat dan publikasikan.
Jangan pernah malas membuat dokumentasi tulisan sendiri. Dokumentasi itu akan menjadi catatan bersejarah bagi keturunan kita atau siapa pun yang membutuhkannya kelak.
Penulis yang ingat mendokumentasikan karyanya akan selalu diingat kendati ia sudah tiada.
( I Ketut Suweca, 23 Mei 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H