Ketiga, bahan motivasi untuk berkarya.
Saya memiliki kebiasaan untuk membaca kembali karya tulis lama. Sesekali, saya rindu melihatnya dan membacanya sekilas. Dengan begitu saya merasa senang. Tujuan utama saya bukan sekadar membaca dokumen lama itu, bahkan lebih dari itu.
Membaca tulisan-tulisan lawas memberi spirit atau semangat kepada saya untuk menulis lagi dan lagi. Terkadang semangat menulis bisa redup, bukan?
Kalau ingin menyemangati diri menulis, maka saya akan buka-buka lagi tulisan zaman dulu itu. Dengan begitu, saya bisa bersemangat untuk mengambil laptop dan mulai mengetik.
Keempat, warisan untuk anak-cucu.
Kalau cucu pada suatu saat nanti bertanya, apa saja yang ditulis kakek atau neneknya dulu, apa yang bisa dijawab? Mungkin sekadar penjelasan lisan seadanya atau seingatnya dari orang yang mengenal kita sebagai penulis ketika masih hidup.
Akan tetapi, jika masih ada warisan berupa dokumentasi artikel, majalah, tabloid, dan buku, maka dokumen itulah yang akan 'berbicara' kepada cucu atau siapa pun yang bertanya nantinya.
Oleh karena itu, perlu upaya mendokumentasikan karya tulis yang pernah kita buat dan publikasikan.
Jangan pernah malas membuat dokumentasi tulisan sendiri. Dokumentasi itu akan menjadi catatan bersejarah bagi keturunan kita atau siapa pun yang membutuhkannya kelak.
Penulis yang ingat mendokumentasikan karyanya akan selalu diingat kendati ia sudah tiada.
( I Ketut Suweca, 23 Mei 2021).