Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memberi Stempel "Gudang Buku" pada Perpustakaan, Tepatkah?

15 April 2021   10:04 Diperbarui: 15 April 2021   17:48 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Dewi Saraswati (Sumber: en.wikipedia.org)

Seyogianya jangan lagi menyematkan istilah gudang buku pada perpustakaan. Stempel  atau stigma "gudang," menurut penulis, kurang memberikan nilai positif pada tempat menyediakan buku-buku bacaan tersebut.

Dan, stempel ini juga bisa menurunkan citra dan perhatian terhadap perpustakaan, yang seharusnya diutamakan.

Stigma Gudang

Apa yang Anda pikirkan begitu mendengar kata "gudang"? Barangkali segara muncul pikiran bahwa gudang itu sejenis ruangan untuk menyimpan barang atau perabotan.

Mungkin barang-barang yang disimpan di situ hanya dipakai sekali waktu saja. Mungkin juga tempat menyimpan barang-barang bekas, yang tidak dipakai lagi. Menyimpan perabotan segala macam jenis. Tempatnya di sudut dan jarang terurus.

Nah, kalau perpustakaan dipandang sebagai gudang buku, maka boleh jadi memandang buku itu adalah benda yang tidak berguna, barang bekas yang tidak dipakai lagi. Karena tak ada tempat pembuangan, ya, akhirnya disimpan saja di gudang.

Istilah gudang buku, penulis rasakan, memiliki persepsi kurang bagus. Cukup dikatakaan sebagai perpustakaan saja. Dengan demikian, nama baik perpustakaan tetap terjaga, dan semangat untuk memajukan dan menempatkan perannya di prioritas utama, menjadi semakin kuat.

Kalau ada sekolah yang menyatukan "perpustakaan" dengan tempat menyimpan barang-barang yang tidak dipakai, saya akan merasa sangat sedih.

Saya pandang pihak sekolah sudah benar-benar tidak memahami dan menghargai betapa pentingnya perpustakaan dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan.

Menghargai Perpustakaan

"Pak, seharusnya kita menghargai perpustakaan. Menghargai buku sebagai sumber ilmu pengetahuan."

Kalau Bapak menyatukan  buku-buku itu dengan barang-barang bekas, sungguh tidak elok. Itu berarti Bapak tidak menghargai buku sekaligus kurang menghargai pentingnya ilmu pengetahuan!"

"Bagaimana siswa bisa datang dan menyukai perpustakaan serta rajin membaca, jika perlakuan terhadap perpustakaan seperti ini: menyatukannya dengan peralatan lama yang tak dipakai lagi dan kurang terurus!"

"Menjadikannya tempat yang sama sekali tidak menarik sehingga jarang ditengok. Membiarkannya kotor, penuh debu, dan tak terawat!"

Seperti itulah hardikan saya kepada pihak sekolah yang tidak peduli dengan perpustakaan sekolahnya. Syukurnya, hal seperti itu tidak pernah keluar  saya ucapkan. Cukup saya simpan di dalam hati.

Kendati pun saya ucapkan, akan saya kemas secara halus dalam bentuk imbauan, lebih ke arah mengajak agar pihak sekolah kian peduli terhadap keberadaan perpustakaan sekolahnya.  Saya tidak punya kewenangan mengomeli mereka yang seperti itu.

Pentingnya Ilmu Pengetahuan

Perpustakaan terwujud dari kumpulan buku. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Karenanya, manusia mengejar ilmu pengetahuan setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya.

Oleh karena itu, menjadi hal penting jika kita menghargai buku dan perpustakaannya sekaligus. Karena melalui buku-buku seperti itulah kita bisa mendapatkan titian hidup untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan disebut sebagai manusia terpelajar.

Demikian pentingnya ilmu pengetahuan, banyak masyarakat yang mendorong putra-putrinya belajar dan meraih ilmu pengetahuan.

"Carilah ilmu setinggi-tinggi, bahkan hingga ke negeri Cina." Ungkapan itulah sering kita dengar dalam masyarakat. Setiap daerah tentu memiliki local wisdom terkait dengan urgensi ilmu pengetahuan.

Dewi Saraswati

Pada masyarakat Bali, dikenal akan penghargaan dan penghormatannya terhadap ilmu pengetahuan, juga buku sebagai pengantar ilmu pengetahuan.

Penghormatan dan penghargaan itu diwujudkan dengan menghadirkan manifestasi Tuhan ke dalam sebuah simbol Dewi Saraswati.

Dewi Saraswati disimbolkan sebagai dewi penguasa ilmu pengetahuan. Digambarkan sebagai seorang wanita cantik, berpenampilan anggun. Pada hampir semua sekolah di Bali, dibangun patung Dewi Saraswati.

Patung Dewi Saraswati (Sumber: en.wikipedia.org)
Patung Dewi Saraswati (Sumber: en.wikipedia.org)

Dengan kebaradaan patung itu, diharapkan warga sekolah senantiasa mengingat betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi peradaban dan kemajuan hidup manusia. Terinspirasi untuk menekuni ilmu pengetahuan itu dengan kesungguhan hati.

Patung Dewi Saraswati dimaksudkan sebagai bentuk penghayatan akan karunia Tuhan dalam manifestasiNya sebagai penguasa ilmu pengetahuan. Maka, Dewi Saraswati merupakan simbol ilmu pengetahuan dan seni.

Tidak hanya dibuatkan ke dalam wujud patung sebagai sarana untuk menghayati kemahakuasan Tuhan pada ilmu pengetahuan dan menurunkannya ke dunia.

Piodalan atau upacaranya pun dlaksanakan pada setiap Saniscara (Sabtu)-Umanis (Legi) wuku Watugunung, menurut kalender Bali. Piodalan ini diselenggarakan pada setiap 6 bulan sekali.

Pada saat piodalan, semua warga sekolah, pria dan wanita yang beragama Hindu, akan mengenakan pakaian sembahyang. Dengan dipimpin oleh pemangku (pengantar sembahyang setempat), dilaksanakanlah upacara yang bernuansa religius dengan penguatan spiritualitas.

Tujuannya, agar semua warga sekolah -- mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, siswa, dan lainnya, mengingat kembali akan arti penting ilmu pengetahuan. Mengingat bahwa manusia bisa maju dan sukses dalam hidupnya apabila dilandasi dengan dan dituntun oleh ilmu pengetahuan.

Menyampaikan Puji Syukur

Pada saat piodalan, di samping menghaturkan sembah bakti kepada Dewi Saraswati sebagai manifestasi Tuhan dalam tugasNya sebagai penguasan ilmu pengetahuan, juga menghaturkan puji syukur yang mendalam kepadaNya.

Berharap ilmu pengetahuan yang didapat atau dipelajari bisa menuntun kehidupan manusia menjadi lebih bermakna dan lebih baik.

Begitulah cara masyarakat di Bali menghargai ilmu pengetahuan yang wujudnya berupa buku  dan perpustakaan sebagai tempatnya.

Jika demikian halnya, masihkah ada yang menelantarkan buku? "Membuang"-nya di gudang, berdampingan dengan barang-barang bekas di sebuah bangunan tua di pojok sekolah? Membiarkannya lusuh, kotor, tidak terawat?

Semoga kesadaran itu tidak datang terlambat!

( I Ketut Suweca, 15 April 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun