Hari Minggu adalah hari yang tidak banyak pekerjaan yang mesti saya tangani. Hari pilihan bebas. Mumpung hari Minggu tanpa kegiatan, kami biasanya memilih jogging di lintasan jalan beraspal di pinggir laut.
Tetapi, kali ini bukan tempat itu yang kami tuju, melainkan sebuah pantai lain yang tidak jauh dari rumah. Namanya Pantai Kerobokan.
Pukul 06.00 saya dan istri sudah bersiap-siap berangkat. Kami meluncur ke pantai yang juga menjadi tempat wisata rintisan itu. Dibutuhkan waktu tidak lebih dari 10 menit perjalanan untuk tiba di lokasi.
Angin sepoi-sepoi, rindangnya dedaunan, suara burung, seperti sedang menyambut kami begitu kami tiba di sana dan turun dari mobil. Udara masih segar dan sejuk. Kebetulan belum banyak pengunjung yang datang pagi itu.
Setelah memarkir kendaraan, tanpa alas kaki, saya dan istri berjalan menyusuri pantai. Bentangan pantai Kerobokan terbilang cukup panjang.
Berjalan di atas pasir sungguh menyenangkan. Sesekali kami bersentuhan dengan lidah air laut yang terus berdenyut, menjulur-julur, dan terhempas di bibir pantai.
Banyak lubang-lubang kecil di sepanjang pantai. Lubang apalagi kalau bukan lubang buatan kepiting-kepiting kecil hitam yang tampak lucu dan imut itu. Ia membuat lubang di pasir sebagai sarang sekaligus sebagai tempat berlindung.
Kepiting yang sedang berada di luar lubangnya akan berlari kencang untuk kembali masuk ke lubangnya apabila ada yang mendekat. Setelah lewat, ia akan keluar lagi.
Terapi Kesehatan
Pasir hitam di sepanjang pantai Kerobokan sangat halus. Butiran-butirannya sangat kecil. Seperti pasir yang sudah diayak saja layaknya. Berkilat-kilat jika diterpa sinar matahari.
Menyeret-nyeret kaki di atasnya, sungguh sangat menyenangkan. Atau, memilih duduk dan membenamkan separuh kaki ke dalam pasir akan terasa hangat jika pasirnya tidak sedang basah. Rasanya seperti kembali ke masa kanak-kanak, dulu.
Ada cerita menarik tentang pasir pantai ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan LPPM Universitas Udayana, Denpasar, diketahui dengan hawa panas pasir 45-50 derajat Celsius dapat dijadikan alternatif terapi kesehatan.
Terapi itu dapat dilakukan dengan cara berendam di galian pasir maksimal sedalam 50 centimeter, antara pukul 09.00 Wita sampai sore pukul 17.00 Wita. Waktu yang diperlukan untuk berendam di pasir juga tidak perlu terlalu lama, cukup hanya 15 menit.
Pasir di pantai ini disebutkan sangat baik untuk kesehatan tulang. Pantas saja beberapa kali terlihat ada orang yang membenamkan sebagian tubuhnya di pasir ini sebagai terapi rematik terutama pada musim panas.
Membawa Nasi Bungkus
Setiap kali ke pantai ini, kami selalu berbekal nasi bungkus. Harganya lima ribu rupiah sebungkus. Itulah yang menjadi bekal kami, di samping sebotol air mineral.
Usai jalan-jalan di sepanjang pantai dan sudah pula sempatkan berfoto selfie, kami pun mengambil nasi bungkus itu di mobil dan siap menyantapnya.
Kami memilih tempat yang sejuk di bawah pohon ketapang yang rindang. Tidak terlalu terlihat oleh mereka yang mulai datang berlalu-lalang sepanjang pantai.
Pada saat menikmati nasi bungkus itu, dua ekor kucing tiba-tiba tampak mendekat. Keduanya berbulu oranye kemerahan. Rupanya mereka induk dan anak.
Melihat kehadiran mereka, saya sobek sedikit kertas pembungkus nasi. Menaruh nasi dengan sedikit lauk di atasnya dan meletakkannya dekat dengan kedua kucing itu. Saya lihat keduanya makan dengan lahap.
Mungkin mereka adalah kucing liar yang hidup di pantai. Tanpa pemilik. Tempatnya mencari makan, ya, di sepanjang pantai itu.
Di dekat pantai itu ada warung nasi. Mungkin saja binatang kecil ini mendapatkan sisa makanan dari warung itu. Atau, kalau ada pengunjung yang menggelar acara makan di pantai, boleh jadi binatang kecil ini akan mendapatkan bagian.
Bersyukur atas Karunia Tuhan
Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan bisa menikmati indahnya pantai dan alam sekitarnya: pasir, ombak, perahu, bentangan sawah, nelayan, matahari, udara sejuk, dan banyak lagi yang lainnya. Anugerah Tuhan memang tiada tara.
Saya sempat merebahkan badan di balai-balai kecil milik warung setempat yang kebetulan masih tutup. Merasakan nyamannya tiduran meluruskan badan di situ dan hembusan angin yang lembut, bibir saya saya lalu berucap syukur kepada Tuhan atas semua karuniaNya. Terima kasih ya Tuhan, terima kasih atas semua karuniaMu.
Sekitar satu jam lamanya kami berada di pantai. Kami pun memutuskan untuk kembali pulang. Mampir sejenak di pasar terdekat untuk membeli keperluan dapur. Tidak lupa membeli buah secukupnya, pepaya dan buah naga. Kedua buah itu favorit saya.
Nama Kucing Itu Si Burik
Di pantai bertemu kucing, di rumah pun kami bertemu dengan makhluk yang sama. Ada seekor kucing yang rajin singgah ke rumah. Saya sebut singgah, karena ia datang sebentar, lalu pergi. Biasanya si kucing yang saya panggil dengan nama si Burik itu akan datang saat petang, menjelang malam.
Setiap petang, saya temukan ia rebahan di teras. Selalu begitu. Ketika kami sibuk membersihkan rumah lanjut mandi dan mengerjakan pekerjaan lain, ia pun datang. Tiba-tiba sudah ada di teras, tidur-tiduran di dekat pintu masuk.
Saya berikan nama si Burik agar mirip dengan warna bulunya yang bintik-bintik kombinasi coklat, abu-abu, dan hitam. Mungkin kurang cocok, ya, tetapi yang penting ia punya nama sehingga kami mudah memanggilnya.
Setiap kali ia datang, kami selalu memberinya makan. Ia emoh makan nasi putih saja, mesti dikombinasi dengan gorengan ikan laut atau pindang kesukaannya. Dengan begitu ia akan makan dengan lahap.
Selama belum diberi makan, ia akan dengan sabar menunggu dan rebahan santai di teras. Matanya yang terang sesekali menoleh kami.
Usai makan, biasanya ia akan pergi begitu saja. Ngeloyor menjauh dan menghilang di keremangan petang. Tetapi kepergiannya selalu untuk datang lagi keesokan harinya pada waktu yang sama. Petang menjelang malam ia akan datang dan menunggu diberi jatah makan lagi. Â Kami merasa senang setiap kali ia datang.
Kucing Milik Siapa?
Saya tidak mengetahui siapa yang sebenarnya memelihara kucing tersebut. Tidak ada tetangga yang mengatakan memelihara kucing berbulu burik seperti yang saya gambarkan. Jika demikian, berarti ia adalah kucing liar yang berkeliaran di sekitar rumah.
Berbeda dengan kucing liar pada umumnya yang biasanya tampak kurus, kotor, dan lemah, si Burik ini justru sebaliknya. Tubuhnya relatif besar dan tampak cukup gagah kalau sedang berjalan.
Kalau kucing liar pada umumnya takut dan lekas lari menjauh ketika melihat orang, kucing ini justru kadang terlihat acuh tak acuh dan sangat tenang. Sedikit pun tidak tampak rasa takut di matanya.
Ketika pertama kali saya melihatnya 3 bulan lalu, saya memanggilnya dengan pus-pus begitu rupa, dan ia mau mendekat. Saat itu saya belum berani menyentuhnya, khawatir ia menggigit atau takut dan berlari menjauh. Belakangan ia tampak jinak.
Si Burik selalu datang setiap petang. Ia akan tidur-tiduran di teras, menunggu makanan. Usai makan, ia akan pergi. Kepergiannya hanya sementara, karena akan kembali esok pada waktu yang sama, setiap petang.
(I Ketut Suweca, 28 Februari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H