Menulis untuk media cetak, seperti koran, tabloid, atau majalah, ada kisah manis dan pahitnya. Semua membawa kenangan yang tidak akan terlupakan.
Dalam perjalanan kepenulisan di media massa cetak, apakah naskah atau artikel Anda pernah ditolak? Jika pernah atau bahkan sering, apa yang Anda lakukan? Anda jengkel terhadap redaksi? Anda tidak akan pernah mengirim naskah lagi ke sana? Atau, Anda hapus cita-cita menjadi penulis?
Apa pun pilihan yang diambil, itu adalah hak Anda. Tidak ada seorang pun boleh mengintervensi Anda harus begini atau begitu.
Catatan dari Pengalaman
Baiklah, saya akan berbicara tentang pengalaman yang saya dapatkan selama menulis di koran. Pengalaman kecil ini mudah-mudahan menjadi pertimbangan ketika para penulis pemula berkeinginan menulis di media cetak.
Para penulis pada umumnya menghendaki naskah yang dikirimnya ke koran bisa dimuat, bukan? Dengan begitu ia merasa berhasil dalam menulis bahkan mendapatkan honorarium jika media itu memang menyediakannya.
Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak semua tulisan yang dikirim akan mendapatkan apresiasi berupa pemuatan tulisan itu. Anda mungkin pernah mengalaminya. Saya sudah sering mengalami hal seperti ini semasih rajin menulis di koran.
Tidak hanya sekali-dua kali mengalami penolakan, bahkan sudah seringkali. Saya sudah terbiasa dengan penolakan. Lantas, bagaimana kita bisa mengetahui kalau sebuah media tidak memuat tulisan kita? Kecuali koran Kompas, amat jarang media cetak mengabarkan bahwa tulisan yang diterimanya tidak dimuat alias ditolak.
Hanya Anda sendiri sebagai penulisnya yang bisa memperkirakan apakah naskah yang Anda kirim itu ditolak atau dimuat. Dibutuhkan waktu 7 hari atau lebih masa tunggu untuk koran harian. Jika dalam waktu itu tidak juga dimuat, maka kemungkinan besar naskah Anda sedang tidak bernasib baik.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan terhadap naskah yang tidak berhasil dimuat? Beberapa hal berikut ini mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan sebelum Anda menjadi putus asa dan bersikeras untuk tidak lagi mengirim naskah ke koran.
Edit dan Kirim ke Koran Lain
Pertama, periksa kembali file naskah yang Anda kirim. Lihatlah naskah itu dengan cara pandang yang berbeda, bukan cara pandang Anda sebagai penulis, melainkan cara pandang redaksi yang sedang memeriksa naskah Anda. Kira-kira seperti apa pendapat redaksi sehingga memutuskan untuk menolak naskah Anda?
Telitilah dengan saksama, lihatlah dari berbagai segi, misalnya segi penalaran, tata-bahasa, pilihan kata, konten, judul, lead, dan ending. Adakah hal-hal yang bisa diperbaiki?
Jika Anda memandang naskah itu masih layak dimuat dilihat dari isi atau kontennya, silakan disunting kembali agar lebih baik lagi.
Naskah yang sudah Anda sunting itu bisa Anda kirim lagi ke koran lainnya. Ini kalau Anda yakin sekali bahwa kontennya bagus. Anda hanya perlu memperbaiki tata bahasa, judul, lead, dan beberapa yang sifatnya artificial. Isinya  tetap.
Jangan Dihapus, Simpan Saja
Kedua, menyimpan naskah yang ditolak. Kalau kemudian ternyata Anda memandang naskah Anda itu masih banyak kurangnya, terutama di sektor isi, maka lupakanlah. Jangan dihapus dan simpan saja sebagai file softcopy.
Biarlah file naskah itu menjadi kenangan dalam perjalanan kepenulisan Anda. Betapa pun sederhananya naskah itu, ia adalah karya Anda. Sebuah karya yang lahir dari ruang pikir Anda yang terus berproses. Jangan berkecil hati. Jadikan naskah itu sebagai salah satu jejak dalam perjalanan kepenulisan Anda yang panjang.
Saya sendiri memiliki sejumlah naskah yang ditolak redaksi. Saya tetap simpan soft copy-nya di flashdisk dan di laptop sebagai arsip. Ia akan menggambarkan bagian dari proses menuju kualitas yang lebih baik.
Buat Lagi Naskah Baru
Ketiga, buatlah naskah baru. Daripada menyesali atau memusingkan naskah Anda yang emoh dimuat oleh redaksi, lebih baik membuat naskah baru lagi. Ya, membuat naskah anyar yang diusahakan lebih bagus lagi. Sebuah naskah yang aktual, menginspirasi, dan bermanfaat bagi khalayak pembaca.
Begitulah biasanya yang dilakukan oleh penulis sejati. Ia tak hendak bermuram durja oleh kegagalannya dengan penolakan itu. Ia akan bangkit lagi, menulis, dan menulis lagi.
Bahkan, kali ini ia tidak hanya membuat satu artikel. Ia akan membuat lebih dari satu naskah. Naskah itu akan dikirim ke beberapa media cetak.
Mungkin naskah yang satu ke koran A, naskah yang lain ke koran B nyaris dalam waktu bersamaan. Semakin banyak ia menulis dan mengirimkan tulisannya, maka semakin besar pula peluang naskahnya ada yang dimuat.
Jadi, tugas penulis hanyalah menulis dan menulis dengan sebaik-baiknya, entah nantinya akan dimuat maupun ditolak oleh redaksi koran.
Belum Tentu Lantaran Kualitas Isi
Keempat, kalau naskah ditolak belum tentu karena alasan kualitas. Nah, ini bagian penting yang mesti kita ketahui. Redaksi pada umumnya menerima cukup banyak naskah sejenis untuk kolom tertentu. Naskah yang masuk lumayan banyak.
Nah, redaksi tentu akan memilih naskah yang akan dimuat pada terbitan esok harinya. Dari banyak naskah yang masuk, mana yang dipilih? Redaksi memiliki waktu yang sangat terbatas untuk menentukan naskah yang akan dimuat.
Karena keterbatasan waktu, maka redaksi seringkali hanya melihat judul naskah dan lead naskah para penulis. Kalau tidak menarik pada bagian tersebut, boleh jadi ia akan mengesampingkannya.
Yang paling strategis dalam menarik perhatian redaksi adalah judul dan lead naskah. Maka, yang mesti selalu diusahakan penulis adalah membuat judul yang menarik dan menguatkan lead artikel. Walapun begitu, bukan berarti bagian lain naskah tidak penting.
Bukan Tidak Menghargai Anda
Kelima, penolakan adalah hal yang biasa. Bagi siapa pun yang baru mulai menulis untuk media cetak, janganlah hendaknya langsung ngambek atau baper begitu mengetahui naskah yang dikirim tidak dimuat. Persoalan penolakan naskah bagi para penulis adalah hal yang biasa.
Penulis pemula jangan pernah merasa sendiri mengalami hal seperti ini. Hal ini dialami oleh seluruh penulis, baik penulis pemula maupun penulis yang berpengalaman. Penolakan demi penolakan itu pada akhirnya membawa kita untuk meningkatkan lagi kualitas karya. Ketangguhan mental sebagai penulis sedang diuji.
Janganlah hendaknya melihat penolakan itu sebagai upaya bahwa redaksi tidak menghargai pribadi Anda. Penolakan sama sekali bukan dimaksudkan sebentuk cara redaksi tidak menghargai Anda secara personal. Bukan!
Penolakan itu dilakukan semata-mata terhadap naskah Anda, yang mungkin masih kalah kualitasnya dibanding naskah lain yang masuk ke meja redaksi.
Maklumi, Ruang Terbatas
Keenam, ruang yang terbatas. Seperti pernah saya tulis sebelumnya, ruang untuk pemuatan tulisan dari para penulis luar (freelance) terbatas adanya.
Pada koran harian seperti Kompas, naskah Opini yang dimuat sekitar 4 artikel saja. Padahal, naskah yang masuk setiap harinya untuk kolom Opini saja, konon, sampai 100 naskah. Bisa dibayangkan betapa besar persaingan antarnaskah yang terjadi.
Untuk koran daerah mungkin jumlah naskah yang masuk lebih sedikit, katakanlah 10 artikel opini setiap harinya. Akan tetapi, peluang pemuatannya kecil juga, karena dari sepuluh naskah itu hanya satu saja yang dimuat mengingat ruang yang disedikan sangat terbatas. Koran Jawa Pos, misalnya, setiap hari memuat satu naskah Opini, demikian pula koran Bali Post.
Itulah beberapa hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan ketika naskah Anda ditolak redaksi sebuah koran. Tetap menjaga semangat menulis. Masih banyak kesempatan yang tersedia untuk mereka yang konsisten menulis. Tidak hanya di koran, di media online pun ada sejumlah pilihan.
(Â I Ketut Suweca, 20 Februari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H