UU ITE sejatinya memiliki sifat yang mengatur hal-hal prinsip atau pokok-pokok saja. Di bawahnya (biasanya) dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah untuk kepentingan yang lebih teknis dan implementatif. Dimungkinkan juga ada ketentuan di bawahnya lagi untuk hal-hal yang bersifat lebih detail.
Sebetulnya perubahan atau penyesuaian itu bisa dilakukan di peraturan di bawah UU. Itu kalau dipandang cukup dan sifatnya tidak prinsip. Menjadi sebuah keharusan semua peraturan atau ketentuan di bawah UU dijiwai oleh UU yang ada di atasnya, sama sekali tidak boleh bertentangan.
Nah, kalau dengan peraturan atau ketentuan di bawah UU itu dirasa belum bisa atau belum cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat, maka bisa saja UU-nya sendiri yang direvisi atau diubah.
Apalagi, Presiden Joko Widodo, sudah memberikan lampu hijau sekaligus dorongan untuk merevisi terutama terhadap bagian yang disebut-sebut sebagai "pasal-pasal karet".
Yang disebut-sebut sebagai pasal-pasal karet yang bermasalah antara lain pasal 27 ayat (1) soal kesusilaan, pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Kebutuhan Hakiki?
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah UU ITE membatasi suara atau aspirasi masyarakat? Jika jawabannya tidak, maka undang-undang itu tidak perlu diubah.
Jika dipandang membatasi, apalagi berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya prinsip, maka perubahan itu selalu memungkinkan. Ini bisa menjadi jalan untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang dibutuhkan masyarakat.
Pertanyaannya lanjutannya adalah, apakah ini hanya suara euforia demokrasi sesaat yang segera akan hilang atau memang sebuah kebutuhan yang hakiki dan mendasar?
(Â I Ketut Suweca, 20 Februari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H