Belum lama ini saya diundang LPP RRI Singaraja untuk memberikan pandangan tentang UU ITE. Temanya seperti saya tulis pada judul yaitu UU ITE Membatasi Suara Masyarakat? Bersama saya ada Kasat Reskrim Polres Buleleng yang turut membahas tema itu dan disiarkan secara interaktif kepada masyarakat luas.
Perubahan UU ITE, Mengapa Tidak?
Presenter acara dialog interaktif pertama-tama melemparkan pertanyaan kepada saya tentang peluang kemungkinan terjadinya perubahan terhadap UU ITE.
Saya menyampaikan bahwa UU mana pun tetap memungkinkan untuk diubah selaras dengan tuntutan zaman. UUD 1945 saja mengalami amandemen kok, apalagi UU di bawahnya. Kemungkinan terjadinya perubahan selalu ada.
Apalagi Presiden Joko Widodo sudah memberikan lampu hijau dan dorongan untuk melakukan langkah-langkah nyata ke arah revisi UU dimaksud. Jadi, peluang UU ini mengalami perubahan sangat besar.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Presiden saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta baru-baru ini, sebagaimana dilansir Kompas.com.
UU ITE sejatinya hadir di tengah-tengah kebutuhan nyata masyarakat akan pengaturan di bidang pemanfaatan teknologi informasi dalam berbagai keperluan.
Kehadirannya diharapkan menjembatani berbagai kepentingan yang beragam, menjadi semacam acuan untuk dipedomani agar semuanya merasa diperlakukan dengan baik dan adil.
Pemanfaatan yang Positif
Kita memahami betapa teknonologi informasi sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Banyak orang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi itu untuk berbagai hal, baik secara individu, korporasi bisnis, maupun pemerintahan.
Kita mengenal sebutan kegiatan yang berbasiskan teknologi informasi, misalnya e-commerce, e-library, e-banking, e-government, e-sign, dan sebagainya. Kita sebut secara keseluruhan sebagai e-life.
Kehadiran teknologi sudah sangat banyak membantu individu, masyarakat, bisnis, dan pemerintah dalam mengelola usaha atau menjalankan tugasnya. Berbagai bisnis menjadi berkembang demikian pesat berkat pemanfaatan kemajuan teknologi ini.
Demikian pula dengan pemerintah yang kini memberlakukan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dalam menjalankan tata kelola pemerintahan dan layanan kepada masyarakat.
Pemanfaatan yang Merugikan
Di samping dimanfaatkan secara positif, teknologi informasi juga digunakan oleh sejumlah kalangan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keamanan, ketertiban, dan kepentingan bersama.
Misalnya melakukan penggandaan akun untuk mendapatkan keuntungan tertentu, menyebarluaskan kebohongan, menyebarluaskan paham radikalisme, penghasutan, pornografi, dan banyak lagi yang lainnya.
Nah, untuk menekan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan pemanfaatan teknologi informasi itulah dihadirkan UU ITE ini. Untuk lebih menjamin rasa keadilan, ketertiban umum, dan keamanan masyarakatlah, maka UU ITE ini disusun dan diberlakukan.
Perubahan sudah Pernah Dilakukan
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini lahir hampir bersamaan dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU yang disebut terakhir ini mewajibkan setiap Badan Publik untuk memberikan layanan informasi kepada publik yang membutuhkan, sepanjang bukan merupakan informasi yang dikecualikan.
Berbeda dengan UU No. 14 Tahun 2008, UU ITE justru sudah pernah mengalami perubahan pada tahun 2016 dengan hadirnya UU No.19 tahun 2016. UU ini merupakan perubahan terhadap UU No.11 Tahun 2008 pada beberapa pasalnya, di antaranya penambahan pasal 45A dan 45B yang mengatur ketentuan pidana.
UU ITE sejatinya memiliki sifat yang mengatur hal-hal prinsip atau pokok-pokok saja. Di bawahnya (biasanya) dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah untuk kepentingan yang lebih teknis dan implementatif. Dimungkinkan juga ada ketentuan di bawahnya lagi untuk hal-hal yang bersifat lebih detail.
Sebetulnya perubahan atau penyesuaian itu bisa dilakukan di peraturan di bawah UU. Itu kalau dipandang cukup dan sifatnya tidak prinsip. Menjadi sebuah keharusan semua peraturan atau ketentuan di bawah UU dijiwai oleh UU yang ada di atasnya, sama sekali tidak boleh bertentangan.
Nah, kalau dengan peraturan atau ketentuan di bawah UU itu dirasa belum bisa atau belum cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat, maka bisa saja UU-nya sendiri yang direvisi atau diubah.
Apalagi, Presiden Joko Widodo, sudah memberikan lampu hijau sekaligus dorongan untuk merevisi terutama terhadap bagian yang disebut-sebut sebagai "pasal-pasal karet".
Yang disebut-sebut sebagai pasal-pasal karet yang bermasalah antara lain pasal 27 ayat (1) soal kesusilaan, pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Kebutuhan Hakiki?
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah UU ITE membatasi suara atau aspirasi masyarakat? Jika jawabannya tidak, maka undang-undang itu tidak perlu diubah.
Jika dipandang membatasi, apalagi berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya prinsip, maka perubahan itu selalu memungkinkan. Ini bisa menjadi jalan untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang dibutuhkan masyarakat.
Pertanyaannya lanjutannya adalah, apakah ini hanya suara euforia demokrasi sesaat yang segera akan hilang atau memang sebuah kebutuhan yang hakiki dan mendasar?
(Â I Ketut Suweca, 20 Februari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H