Sebelum bertemu dengan kompasiana, saya kerap menulis di media cetak. Hanya, lebih banyak di koran dan tabloid lokal. Hanya sedikit saya punya pengalaman menulis di media nasional. Sejumlah media cetak lokal acap memuat artikel opini saya. Seperti apa kisahnya?
Menulis Sebaik Mungkin
Untuk bisa dimuat di koran, sungguh tidak mudah. Sebagian tulisan saya dimuat, sebagian lagi tidak ada kabarnya. Persoalan dimuat atau tidak sepenuhnya merupakan kebijakan redaksi media bersangkutan. Kewajiban sebagai penulis, ya, menulis saja.
Begitulah, saya sering menulis di beberapa koran. Saya selalu berusaha menulis artikel opini dengan gagasan yang aktual dan menarik. Menulis sebisa-bisanya, sebaik-baiknya yang saya bisa. Alhasil, ada saja yang berhasil dimuat.
Dalam pengalaman saya, lama waktu tunggu pemuatan artikel biasanya 3-7 hari. Itu pada umumnya. Ada juga yang dimuat lebih awal dari itu atau lebih lama.
Menyenangkan sekali kalau melihat tulisan itu dimuat di koran, apalagi di tempat terhormat: kolom Opini, tepat di bawah karikatur dan di samping Tajuk Rencana. Ini memberikan semangat untuk menulis dan menulis lagi.
Dimuat atau Tidak?
Bagaimana kalau tidak dimuat? Penolakan pemuatan artikel sudah biasa saya alami. Saya menyadari bahwa ada banyak artikel opini yang diterima redaksi setiap harinya. Artikel yang masuk itu bersaing memperebutkan ruang yang terbatas. Kalau berhasil atau lagi beruntung, artikel sayalah yang dimuat.
Bagaimana cara redaksi mengabarkan penolakan terhadap sebuah artikel? Tidak ada pola balasan yang menyatakan bahwa artikel kita tidak dimuat alias ditolak. Jika lebih dari 7 hari masa tunggu, kemungkinan besar artikel yang kita kirim tidak dimuat. Begitulah pengalaman mengajarkan.
Respons Positif Kompas
Seperti itulah yang terjadi pada umumnya pada media cetak. Sepanjang pengetahuan saya, hanya Kompas cetak yang membalas kiriman artikel penulis.Â
Balasan via email dari redaksi Kompas pada intinya menyampaikan bahwa artikel yang  saya kirim sudah diterima, tetapi karena alasan tertentu, tidak bisa dimuat.
Di akhir email disertai dengan harapan agar penulis masih bersedia mengirim artikel berikutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menyenangkan sekali menerima respons positif Kompas seperti ini. Kendati artikel yang kita kirim tidak dimuat, namun balasan yang diberikan sungguh menyenangkan dan menguatkan.
Berbeda halnya dengan media lain yang pernah saya kirimi artikel. Biasanya  tidak ada balasan. Mungkin lantaran memberikan respons itu dipandang tidak penting atau tidak perlu. Entahlah. Itu sepenuhnya kebijakan redaksi media dimaksud.
Kirim via E-mail
Lalu, bagaimana cara mengirim tulisan ke redaksi koran? Bagi sahabat yang sudah terbiasa mengirim karya tulis ke koran tentu tidak ada masalah. Akan tetapi, bagi yang belum pernah mengirim naskah, mungkin perlu diketahui cara pengirimannya.
Kalau dulu -- dulu sekali he he he, saya mengirim artikel berupa hasil ketikan mesin ketik ke redaksi, belakangan mengirim tulisan dengan cara yang jauh lebih praktis dan cepat. Cukup melalui email saja.
Temukan alamat email koran atau tabloid yang bersangkutan. Bisa di-cek di medianya. Dan, kirim artikel ke alamat itu. Yakin, pasti sampai. Asal, redaksinya membuka emailnya.Â
Lengkapi dengan Surat Pengantar
Jangan lupa diisi surat pengantar di halaman depan sebelum halaman naskah. Di dalam surat pengantar inilah disebutkan judul naskah yang dikirim dan apa maksud pengiriman naskah itu. Tentu dengan bahasa yang santun dan menarik.
Lalu, pada bagian bawah surat pengantar cantumkan identitas diri yang meliputi nama, alamat, nomor telepon/HP yang bisa dihubungi, pekerjaan, nomor rekening bank, dan nomor NPWP.
Mengapa berisi nomor rekening bank? Kalau artikel kita dimuat, ke nomor rekening itulah honorariumnya dikirim. Kok ada nomor NPWP? Apalagi kalau bukan untuk kepentingan pemotongan pajak penghasilan dari honorarium yang kita terima nantinya. Di halaman berikutnya setelah surat pengantar barulah disertakan artikel kita.
Berapa panjang ideal artikel yang kita kirim? Berapa kata atau karakter ya? Saya jarang menghitung sih. Biasanya sekitar 3 halaman ukuran kertas A4, 1,5 spasi. Itu yang moderat. Terkadang ada yang kurang dari itu atau lebih sedikit.
Jaga Penampilan
Usahakan naskah yang kita kirim sudah diketik dengan rapi. Hindari kesalahan pengetikan. Buatlah penampilan artikel kita rapi.
Kalau banyak salah ketik, margin kiri-kanan semuanya ngasal, ya, saya khawatir naskah kita tidak akan berhasil memikat hati redaksi. Bisa dicampakkan. Boleh jadi kita dinilai tidak profesional!
Jadi, tata-lah naskah dengan sebagus mungkin. Tidak hanya isinya yang mesti bergizi, tata letak, dan kelengkapannya pun tidak kalah penting diperhatikan.
Itulah sepintas tentang pengalaman kecil saya menulis di koran atau tabloid. Sejatinya ada banyak sekali sisi-sisi yang bisa dikisahkan. Tetapi, kali ini cukup dulu, sahabat. Terima kasih.
Catatan:Â Artikel ini terinspirasi dari tulisan Pak Ludiro Madu berjudul Sweet Karma, Bisa Menulis Artikel Opini Koran Karena Dikejar Deadline.
( I Ketut Suweca, 14 Februari 202!).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H