Engkau pun bingung mencarikanku obat pengurang rasa sakit, tapi tak ada. Engkau menghiburku. Sampai kemudian aku kelelahan menangis dan tertidur pulas.
Aku juga ingat betapa kerasnya engkau bekerja, siang dan malam, demi menghidupi kami semua, anak-anakmu.
Pukul empat pagi engkau sudah bangun, menyiapkan segala sesuatunya. Pergi ke pasar membeli segala bahan dan kebutuhan warung nasi yang sudah lama engkau buka.
Aku ingat ketika tangan kananku masih belum sampai menyentuh telinga kiriku, ibu mengajakku ke pasar. Ibu berkeliling berbelanja, sedangkan aku engkau minta menunggu di dekat keranjang belanjaan sampai ibu kembali.
Karena lama tak kunjung kembali, aku menangis tersedu-sedu sampai akhirnya engkau datang. Engkau tahu, ibu, saat itu  aku takut jika tidak bersamamu, takut kalau engkau tak menjemputku lagi, dan aku takut tersesat.
Aku masih ingat tatkala ibu sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama. Engkau tak sadarkan diri, koma. Aku dan adik selalu menungguimu, setiap malam, usai sekolah dan mengerjakan banyak pekerjaan rumah dan peer sekolah.
Aku dan adik menungguimu dengan duduk di lantai beralaskan tikar. Tak ada satu pun di antara kami yang tertidur saat itu.
Lalu, aku bersama adik memutuskan sembahyang tengah malam, di tempat aku menungguimu. Menghidupkan dupa dan mulai menyebut nama Tuhan. Memohon kepada Hyang Widhi agar memberikan jalan terbaik untukmu.
Kalau akan sembuh, sembuhkanlah ibuku. Sebaliknya, jika Tuhan berkehendak memanggil Ibu, panggilah, begitu aku berdoa. Aku ikhlas atas apa pun keputusan Tuhan yang akan diturunkan kepada ibu.
Satu jam kemudian, kulihat nafasmu tersengal. Engkau kesulitan bernafas. Aku berlari cepat memanggil dokter tengah malam itu.
Dokter jaga mengecek keadaanmu, lalu menatap kami berdua. "Dik, ibumu sudah tiada." Aku terkesiap dan tak mampu menahan tangis. Begitu pula dengan adikku.