Akan tetapi, jika kita semata-mata mengejar kuantitas atau jumlah tulisan, ada kemungkinan kualitas tulisan kita kurang mendapat perhatian. Artinya, boleh jadi kita menulis melulu untuk menulis. Gagasan yang kita sampaikan kepada pembaca akhirnya ala kadarnya saja.
Penulis yang mengutamakan kuantitas mungkin akan mengalami kendala untuk melakukan perenungan atau memikirkan dengan saksama dan mendalam terhadap materi artikel karena hal ini menyita waktu.
Dengan kata lain, kita menjadi kehilangan momentum untuk merenungkan atau menganalisis secara mendalam materi yang akan kita tulis karena dikejar batas waktu atau deadline yang kita targetkan sendiri.
Di pihak lain, bagi yang mengedepankan kualitas, mungkin tak memiliki target tertentu dalam hal jumlah. Yang penting baginya adalah setiap tulisan yang akan ditampilkan sudah melalui proses pemikiran yang benar-benar matang, yang pada umumnya cukup memakan waktu.
Secara kualitas hasilnya bisa jadi memadai bahkan sangat bagus. Sang penulis menjadi bangga dengan kualitas karyanya. Setiap kali menulis, mungkin dia berpikir bahwa tulisan itu mencerminkan siapa penulisnya; inilah menjadi landasannya bekerja. Itulah sebabnya, ia memilih mengutamakan kualitas, alih-alih kuantitas.
Nah, dari penjelasan mengenai kedua pilihan itu, muncuil pertanyaan: Anda memilih kualitas atau kuantitas? Atau, bahkan bertekad memilih keduanya? Saya mau bilang up to u saja. Selamat menulis.
(I Ketut Suweca, 5 November 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H