Selama belum menulis, ia berusaha menyempatkan diri untuk terus memperkaya pengetahuan dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. Ketika ia sudah sreg dengan sebuah topik disertai pula dengan referensi yang memadai, barulah ia mulai menulis.
Menulis pun dilakukannya dengan pelan-pelan. Ya, perlahan-lahan. Ia tak peduli kalau ada orang yang mendorongnya menulis cepat dengan alasan agar lebih produktif.
Penulis dalam kelompok ini akan melakukan semua proses secara bertahap. Proses penyuntingan atau editing pun dilakukannya dengan pelan-pelan dan cermat. Ia emoh grasa-grusu.
Proses penyuntingan dilakukannya beberapa kali. Begitu ia selesai mengetik draft pertama, ia memilih istirahat atau melakukan hal lain untuk menjaga jarak dengan naskah itu.
Kemudian, ia duduk dan menyunting lagi. Masih belum puas juga dengan hasilnya? Ia mengambil waktu jeda lagi, sebelum melakukan penyuntingan terakhir.
Dengan cara itu, ia berharap karya tulis yang dihadirkannya ke hadapan sidang pembaca memiliki kualitas yang baik. Kualitas karya merupakan prioritas utama baginya.
Kuantitas atau Kualitas?
Sampai di sini, mungkin kita dibuat merenung: kalau demikian kita mengejar kualitas atau kuantitas?
Saya kira, memilih salah satu, tak ada yang keliru sama sekali. Ya, terserah kita saja sebagai penulis, mau pilih yang mana.
Pertimbangan saya, kalau kita memilih kuantitas, maka kita akan memiliki banyak artikel yang pada akhirnya menjadi kebanggaan. Dalam kurun waktu tertentu dan dengan relatif cepat, kita sudah mencapai ratusan bahkan ribuan artikel. Siapa penulis yang tidak senang?
Kuantitas menunjukkan tingkat produktivitas kita sebagai penulis, mencerminkan kesungguhan kita. Banyaknya jumlah tulisan yang berhasil kita wujudkan akan menjadi catatan dalam perjalanan di dunia penulisan.