Sumber gambar:flickr.comÂ
Pembaca pernah mendengar dari seseorang atau membaca di media tentang Kulkul Pusaka (pajenengan, bahasa Bali) di Puri Klungkung berbunyi tanpa ada orang yang menabuhnya?
Percaya tak percaya, kulkul di Bale Kulkul di Puri Klungkung berbunyi sendiri secara gaib pada tanggal 24 Maret 2020, malam hari.
Anggota masyarakat yang kebetulan mendengar suara kulkul itu merasa terkejut dan terhenyak.Â
Konon, jika pajenengan di Puri Klungkung itu bersuara sendiri, seperti pernah terjadi sebelumnya, adalah  pertanda akan ada marabahaya sehingga masyarakat harus waspada. Ini adalah soal keyakinan.
Banyak media yang melaporkan tentang kejadian ini yang bisa diakses dengan mudah.Â
Mendefinisikan Kulkul
Apakah sebetulnya kulkul itu? Kulkul (kentongan, bahasa Jawa) pada dasarnya adalah media komunikasi tradisional masyarakat Bali. Kulkul yang terbuat dari bambu atau kayu berbentu bulat memanjang.
Kulkul bambu tentu ukurannya kecil, seukuran bambu yang dipergunakan sebagai bahan. Biasanya yang memakai bahan bambu dan berukuran kecil ini dibuat dengan memanfaatkan keterampilan biasa tanpa upacara apapun yang menyertainya.
Kulkul bambu ini banyak digantung di kubu (dangau) tengah sawah. Kalau sedang mengusir burung, kulkul inilah yang dipukul dengan tempo rancak sehingga suaranya jadi ramai dan menakutkan burung-burung yang hendak berlabuh di padi para petani.
Berbeda halnya dengan kulkul yang berukuran besar sepelukan kedua tangan. Panjangnya sekitar satu sampai dua meter. Kulkul jenis ini dibuat melalui proses yang panjang oleh mereka yang mumpuni, lengkap dengan ritual yang menyertainya. Â
Kulkul terbuat dari kayu tertentu seperti kayu nangka (artocarpus heterophyllus) atau kayu jati (kayu teges, bahasa Bali) dengan lubang yang dibuat memanjang di satu sisinya.
Kulkul ini biasanya digantung di di Bale Kulkul-- sebuah tempat yang tingginya sekitar 5 meter, di salah satu sudut Pura. Pada umumnya terdapat dua kulkul dipasang berdampingan di Bale Kulkul, yakni Kulkul Lanang dan Kulkul Wadon. Kulkul Lanang bersuara lebih besar dan bergema, sedangkan Kulkul Wadon bersuara lebih nyaring.
Pada waktu-waktu tertentu, seperti saat upacara, kulkul itu akan ditabuh secara bergantian. Ada dua orang bertugas untuk itu. Masing-masing menabuh kulkul yang berbeda. Suaranya pun menggema jauh menyelusup ke seluruh pelosok desa. Tang... tung... tang... tung... tang... tung...
Kulkul di Bali ada banyak macamnya sesuai tempatnya, yaitu Kulkul Pura, Kulkul Banjar Adat, Kulkul Subak, dan Kulkul Kubu. Semuanya mempunyai fungsi sebagai media komunikasi.
Kulkul di Pura, misalnya, akan ditabuh apabila ada upacara (piodalan, bahasa Bali) di Pura setempat. Kulkul di  Bale Banjar baru akan dibunyikan jika ada kegiatan warga banjar dalam konteks kebersamaan.
Kulkul dengan segala ketentuannya diwariskan secara turun-temurun. Dan, kulkul tetap dipakai hingga saat ini. Kendati kemajuan teknologi sudah demikian pesat, tapi kulkul masih tetap dipergunakan.
Dalam kegiatan upacara di Pura, kulkul Pura akan dibunyikan. Suara kulkul merupakan pertanda warga mesti berkumpul. Apabila kulkul ditabuh berarti akan dan sedang ada upacara di sebuah Pura.
Mendengar Suara Kulkul
Suara tetabuhan kulkul berbeda-beda sesuai dengan tujuan ditabuhnya. Orang yang ditugaskan menabuh kulkul harus paham benar ketentuan ini.
Kulkul di Bale Banjar, misalnya, pada umumnya ditabuh hanya sebanyak tiga kali pukulan dengan tempo lambat menandakan  ada warga yang meninggal yang akan segera diupacarai.
Kalau kulkul itu ditabuh dengan pukulan beberapa kali dengan tempo tertentu yang berbeda berarti ada kegiatan penting yang melibatkan warga adat akan segera dimulai.
Akan tetapi, ada juga suara kulkul di Bale Banjar Adat yang ditabuh dengan tempo sangat cepat atau kencang yang dikenal dengan istilah kulkul bulus. Apa maknanya? Berarti, masyarakat harus segera bersiaga karena itu pertanda ada marabahaya yang sedang mengancam, seperti bencana alam, kebakaran, perampokan, dan sejenisnya.
 Dulu, semasih muda di desa, saya pernah mendengar kulkul yang ditabuh demikian cepatnya. Ternyata, ada rumah sedang terbakar. Akhirnya, semua warga beramai-ramai membantu si pemilik rumah untuk memadamkan api.
Tetapi belakangan ini, kulkul bulus ini tak pernah terdengar lagi. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hasil penelitian I Dewa Gede Aditya Dharma Putra dkk (2015) yang menyebutkan bahwa penggunaan kulkul bulus di desa adat Kuta, Bali, sudah dihentikan dalam 18 tahun terakhir.
Begitulah, keberadaan kulkul di Bali, masih ada dan terjaga hingga saat ini. Di setiap Pura Kahyangan Tiga, di setiap Bale Banjar Adat, dan di setiap Pura Subak, pasti ada kulkulnya.
Kulkul bukanlah sebatas kayu yang dibuat dengan lubang memanjang di satu sisinya dan ditabuh pada hari-hari tertentu.
Kulkul adalah sebuah kesepakatan. Kulkul mencirikan kepatuhan.Â
Kulkul adalah pikiran dan aspirasi  masyarakat.Dan, kulkul adalah sebuah peradaban:  hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam tatanan adat dan budaya warisan leluhur.
( I Ketut Suweca, 5 Agustus 2020).Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI