Persoalan Mood
Satu lagi dalih orang untuk tidak menulis secara kontinu. Apakah itu? Benar sekali, karena tidak punya mood menulis. Suasana hatinya tidak mendukung untuk menulis. Ia memerlukan mood untuk menghidupkan mesin menulisnya.
Tanpa mood, menurut pengakuannya, akan sangat sulit baginya untuk menuliskan gagasan. Mood itu, katanya, hanya muncul dalam suasana yang tenang dan sepi, dan sama sekali tanpa tekanan. Ia baru bisa menulis hanya apabila segala sesuatunya beres dan suasananya kondusif.
"Kalau sedang tak ada mood, saya tidak bisa menulis. Bagaimana mungkin saya menulis kalau tak ada dorongan dari dalam? Jika sewaktu-waktu dorongan itu muncul, barulah saya menulis. Saya tak mau memaksakan diri menulis. Saya ingin enjoy saja," kurang-lebih seperti itu kilahnya.
Banyak orang yang baru menulis jika suasana hatinya sedang baik, kalau mood menulisnya sedang baik. Dan, kalau suasana di sekitarnya sangat kondusif. Â Alhasil, ia tak bisa menjadi orang yang produktif dalam berkarya. Sekali waktu ia berkarya, kali lain ia tak menulis dalam waktu yang lama.
Diperlukan Kemauan Kuat
Untuk mengatasi ketiga pokok persoalan di atas diperlukan kemauan yang kuat dari si empunya. Kemauan inilah yang akan membabat habis semua dalih yang dilontarkan itu. Kemauan kuat juga akan membawa sang penulis untuk menjadi pribadi yang berdisiplin, sebuah disiplin yang produktif dan menyenangkan saat menulis sudah menjadi kebiasaan, bahkan kebutuhan.
Terhadap persoalan bakat, misalnya, seyogianya tak lagi menjadi alasan untuk tidak menulis. Pertanyaannya, apakah penulis yang ada sekarang terdiri dari orang-orang yang berbakat menulis? Apakah para akademisi, ilmuwan, juga penulis freelance adalah juga orang-orang yang terlahir dengan bakat menulis?
Saya kira tidak. Mereka menyadari akan tugasnya, menyadari akan kewajibannya sebagai orang yang mesti produktif di bidang ini. Mereka tak membuat dalih apapun untuk menghindari pekerjaan menulis.
Hanya kemauan keras-lah  yang membawa orang untuk menjadi penulis yang produktif dengan ajeg berkarya dari waktu ke waktu. Ia memiliki disiplin diri yang baik dan sama sekali tak peduli dengan namanya bakat, potensi, bawaan lahir, dan apapun namanya.
Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa menulis itu adalah soal keterampilan. Siapa pun yang  bersedia berlatih menulis secara terus-menerus, lambat-laun ia bisa menjadi penulis yang baik. Dengan menulis dan menulis secara berkelanjutan akhirnya ia meraih predikat sebagai penulis atau pengarang dan diakui sebagai penulis andal oleh dunia sekitarnya.
Rupanya ia paham bahwa untuk mencapai prestasi di bidang apa pun, seseorang harus memiliki kemauan keras. Ia harus siap menggembleng dirinya sendiri, siang dan malam, untuk mengasah kemampuan menulisnya.
Ia tak hendak berleha-leha menunggu ide datang memasuki batok kepalanya. Ia bergerak, ia memancing ide, ia berusaha menemukan jalan agar mendapatkan gagasan dengan berbagai usaha: membaca, berdiskusi, mengamati lingkungan dan orang sekitar, dan sebagainya.