Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Lebih Asyik dengan Iringan Musik Klasik

15 Agustus 2020   21:16 Diperbarui: 16 Agustus 2020   09:27 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dok. pribadi

A S Laksana mengatakan,  "Tetaplah menulis, kendati tidak punya ide." Membaca pernyataannya ini barangkali terasa aneh. Mungkinkah orang bisa menulis tanpa ada ide apa pun pada  awalnya? Ia meyakinkan bahwa menulis dimulai dari tanpa ide itu bisa. Bisa sekali.

Menulis Simpel

Saya teringat dengan petuah A.S. Laksana yang bukunya belum lama saya baca. Ia bilang,  kalau menulis itu tak boleh muter-muter. Hal yang sudah ditulis  di awal jangan ditulis lagi belakangan. Menulis satu ide yang sama sampai dua-tiga kali itu tidak baik.

Kalau Anda merasa melakukannya, silakan bersihkan tulisan Anda dari hal-hal  yang berputar-putar itu. Buatlah gagasan Anda menjadi ringkas, simpel, to the point. Kalau pun perlu pengembangan, lakukan secukupnya. Jangan berlebihan.

Kalau Anda masih menulis berputar-putar dengan alasan apa pun, berarti Anda tidak menghargai pembaca. Anda bisa dituduh telah memandang bodoh pembaca. Coba, pembaca mana yang bersedia dianggap bodoh?

Jangan pernah menganggap pembaca belum mengerti hanya dengan menuliskan suatu ide sekali saja. Ingatlah, pembaca itu tidak bodoh sehingga ide Anda tidak perlu ditulis berulang-ulang. Jangan membuat pembaca bosan.  Demikianlah inti 'peringatan yang disampaikan A.S. Laksana.

Setelah saya telisik, ternyata tulisan-tulisan saya juga begitu, muter-muter nggak karuan, he he he.  Menuliskan satu gagasan yang sama lebih dari sekali. Akhirnya, dengan sembunyi-sembunyi, terpaksa saya tarik artikel saya dari penayangan untuk sementara. 

Ada dua artikel yang terpaksa 'turun mesin', diamplas, dan dibersihkan sedemikian rupa sebelum saya tayangkan kembali. Kecuali admin kompasiana, saya yakin pembaca tidak tahu kalau saya sudah melakukan gerakan pembersihan terhadap dua tulisan saya itu, he he he.

Metafora Itu Penting Lho

Ada lagi saran A.S. Laksana yang tak akan saya lupakan. Kata dia, kalau menulis, apalagi menulis cerita fiksi, membuat metafora itu sangat penting. Kalau diandaikan masakan, metafora itu bumbunya.

Nah, makhluk apa pula metafora itu? Tak perlu saya jelaskan ya karena pembaca yang juga penulis sudah mengetahuinya.

Dia menyarankan kita untuk tidak lagi menggunakan metafora model lama, yang sudah kuno. Katanya nggak zaman lagi. Lalu, yang baru itu seperti apa sih? Lihatlah contoh yang diberikannya berikut ini. 

"Berita itu membakar mukanya dan menyapu senyum di bibirnya.

"Ia mengamati gadis itu dengan mata burung pemangsanya."

Nah, apa yang Anda rasakan setelah membaca contoh metafora ini? Sangat kuat dan orisinal, bukan? Apakah kita bisa membuatnya? Tentu. Kalau belum mahir benar, bisa dilatih saja nanti. Jadi, jangan khawatir dengan hal ini.

Disiplin yang Menyenangkan

Untuk lancar menulis, kata A.S. Laksana, mesti disiplin. Tapi, kedengarannya, kata disiplin itu biasa saja. Kata itu sudah terlalu umum dipakai, lagi pula konotasi disiplin itu 'kaku banget'. Nggak ada toleransinya.

Maksudnya hanya ini: jika Anda ingin lancar menulis, maka mendisiplinkan diri berlatih itu mahapenting. Lihatlah, misalnya Pak Budi Darma, kalau menulis beliau tak banyak berpikir. Apa pun yang digagas, beliau tuangkan dengan sangat lancar, seperti pancuran yang airnya ngocor sendiri.

Untuk sampai ke taraf ngocor seperti itu, tentu melalui proses yang tidak mudah. Diperlukan kesiplinan dalam membentuk kebiasaan. Dan, kebiasaan menulis menjadikan kita jauh lebih mudah menuliskan ide-ide yang berkelindan di benak.

Pada awalnya disiplin itu mungkin memberatkan, memaksa. Tetapi, lambat-laun disiplin itu menjadi demikian menyenangkan. Jika menulis sudah menjadi kebutuhan dan menu harian, maka kita sudah tak ada masalah dengan disiplin. Yang ada hanya kegembiraan dalam menulis.

Sebelum menyudahi artikel ini, saya sampaikan kabar penutup yang saya jadikan judul tulisan ini. Ini dia: saat sedang menulis kita dianjurkan menikmati musik. Musik apa? Musik klasik karya Mozart dan Antonio Vivaldi. Anda pernah dengan nama itu? Saya hanya pernah mendengar musik karya Mozart, sedangkan karya Vivaldi, belum.

Menurut hasil penelitian, dengan diiringi alunan musik itu  kita bisa menulis dengan lebih nyaman. Menulis dalam suasana nyaman akan membuahkan karya yang lebih memuaskan. 

Tapi, jangan salah pilih ya. Musik klasik karya Mozart, misalnya, ada banyak macamnya sesuai peruntukan. Ada yang dibuat untuk bayi dalam kandungan, ada yang dibuat  untuk  pengantar belajar, dan yang pula musik yang dibuat khusus sebagai pengantar saat membaca dan menulis. Jangan sampai memilih musik Mozart untuk pengantar tidur. Anda bisa tertidur pulas  di depan laptop, he he he.

 Menulis sambil menikmati musik klasik pasti lebih asyik.

( I Ketut Suweca, 15 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun