Nah, makhluk apa pula metafora itu? Tak perlu saya jelaskan ya karena pembaca yang juga penulis sudah mengetahuinya.
Dia menyarankan kita untuk tidak lagi menggunakan metafora model lama, yang sudah kuno. Katanya nggak zaman lagi. Lalu, yang baru itu seperti apa sih? Lihatlah contoh yang diberikannya berikut ini.Â
"Berita itu membakar mukanya dan menyapu senyum di bibirnya.
"Ia mengamati gadis itu dengan mata burung pemangsanya."
Nah, apa yang Anda rasakan setelah membaca contoh metafora ini? Sangat kuat dan orisinal, bukan? Apakah kita bisa membuatnya? Tentu. Kalau belum mahir benar, bisa dilatih saja nanti. Jadi, jangan khawatir dengan hal ini.
Disiplin yang Menyenangkan
Untuk lancar menulis, kata A.S. Laksana, mesti disiplin. Tapi, kedengarannya, kata disiplin itu biasa saja. Kata itu sudah terlalu umum dipakai, lagi pula konotasi disiplin itu 'kaku banget'. Nggak ada toleransinya.
Maksudnya hanya ini: jika Anda ingin lancar menulis, maka mendisiplinkan diri berlatih itu mahapenting. Lihatlah, misalnya Pak Budi Darma, kalau menulis beliau tak banyak berpikir. Apa pun yang digagas, beliau tuangkan dengan sangat lancar, seperti pancuran yang airnya ngocor sendiri.
Untuk sampai ke taraf ngocor seperti itu, tentu melalui proses yang tidak mudah. Diperlukan kesiplinan dalam membentuk kebiasaan. Dan, kebiasaan menulis menjadikan kita jauh lebih mudah menuliskan ide-ide yang berkelindan di benak.
Pada awalnya disiplin itu mungkin memberatkan, memaksa. Tetapi, lambat-laun disiplin itu menjadi demikian menyenangkan. Jika menulis sudah menjadi kebutuhan dan menu harian, maka kita sudah tak ada masalah dengan disiplin. Yang ada hanya kegembiraan dalam menulis.
Sebelum menyudahi artikel ini, saya sampaikan kabar penutup yang saya jadikan judul tulisan ini. Ini dia: saat sedang menulis kita dianjurkan menikmati musik. Musik apa? Musik klasik karya Mozart dan Antonio Vivaldi. Anda pernah dengan nama itu? Saya hanya pernah mendengar musik karya Mozart, sedangkan karya Vivaldi, belum.