Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjalani Hidup yang Bebas dari Rasa Cemas, Mungkinkah?

15 Agustus 2020   06:38 Diperbarui: 15 Agustus 2020   17:42 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang yang mengalami rasa cemas, rasa sedih, rasa gelisah, dan sejenisnya. Begitu terus-menerus dirasakan dari hari ke hari tiada henti. Hal ini telah membuat hidup mereka menjadi suram. Dunia ini, bagi mereka, sama sekali bukan tempat yang menyenangkan. Jauh dari indah. Apalagi bahagia, jauh!!

Pikiran dan Perasaan

Kalau ditelusuri hingga ke pangkal masalahnya, ternyata penyebabnya ada pada cara berpikir dan merasakan. Karena kita lebih banyak berpikir hal-hal yang negatif, maka perasaan kita pun mengikuti pikiran.

Pikiran menyeret perasaan. Ke mana pikiran pergi, ke sana perasaan mengikuti. Tak pelak, jika pikiran kita negatif terus-menerus, maka kita pun acap terlanda kesedihan, kecemasan, dan bentuk kemuraman hati lainnya.  

Lalu, apa yang seyogianya dilakukan? Jawabannya, ringankanlah pikiran. Biarlah ia tak lagi terbebani dengan berbagi persoalan-persoalan yang ruwet. Berikanlah kesempatan padanya untuk relaks. Jangan selalu dipenati dengan berbagai hal.

Demikian pula dengan perasaan. Jangan biarkan dia terus-menerus dilanda kesedihan dan kecemasan yang tiada akhirnya lantaran mengikuti pikiran. Berhentilah untuk selalu berpikir negatif dan berhentilah cemas.

Hal-hal yang membuat pikiran dan perasaan tak nyaman adalah karena banyaknya beban di ruang pikir kita. Semua beban itu kita anggap sesuatu yang 'nyata,' lalu kita simpan baik-baik di dalam ruang pikiran, kendati sejatinya tak ada masalah dengan hal-hal yang kita pikirkan itu. Kita saja yang memandangnya sebagai sesuatu yang harus dikhawatirkan.

Beban pikiran yang diikuti oleh perasaan itu disebabkan oleh tiga hal yang berasal dari dimensi waktu yang berbeda: dulu, sekarang, dan masa datang. Ketiga dimensi waktu ini numplek blek tertumpahkan dan berkecamuk ke dalam ruang pikiran saat sekarang, hal yang seharusnya tak boleh terjadi.

Masa Lalu Telah Berlalu

Pertama, pikiran tentang masa lalu. Masa lalu tetaplah masa lalu. Ia sudah lewat, bukan? Sudah kita alami dengan segala pahit-manisnya. Masa lalu itu bisa kemarin, dua hari lalu, setahun lalu, dan sebagainya.  Suatu masa yang tak bisa dibalikkan lagi, kecuali pikiran Anda dengan sengaja menariknya ke masa kini, ke saat sekarang, pada detik ini. Apa yang kita dapat dari upaya menarik masa lalu itu ke masa sekarang melalui pikiran? 

Sayangnya, lebih banyak masa lalu yang bermuatan negatif yang terseret-seret hingga ke saat sekarang. Hal ini menjadi beban pikiran dan perasaan yang harus ditanggung saat sekarang. Dan, jangan lupa, ini sangat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut.Bisa mengakibatkan  gangguan psikologis, mulai dari yang ringan hingga berat. Segala macam penyakit mental dan fisik banyak terjadi dari pikiran yang menarik masa lalu ke saat ini.

Seharusnya, biarkanlah masa lalu menjadi masa lalu saja. Ikhlaskan saja ia pergi dan menjauh. Ucapkan selamat tinggal kepadanya. Jangan ditarik lagi ke saat ini, ke detik ini. Karena hal itu hanya akan  membebani pikiran dan berpengaruh kepada kesehatan secara keseluruhan. Satu-satunya jalan untuk hidup sehat adalah membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu, tanpa harus memikirkannya lagi dan lagi sekarang.

Masa Depan Bukan Sekarang

Selanjutnya, berpikir tentang masa depan. Masa depan tetaplah masa depan. Memang harus direncanakan dengan baik jika ingin masa depan kita menjadi lebih baik. Tetapi, masa datang tetaplah masa yang belum kita lalui. Ia masih ada di depan kita, entah dekat, entah jauh.

Akan tetapi, kalau kita mencemaskan masa depan, inilah yang tak boleh terjadi. Mencemaskan hal-hal yang akan mungkin terjadi yang sebenarnya belum tentu terjadi. Kalau hal itu kita lakukan, maka kita sudah menarik masa depan ke masa kini, ke detik ini, melalui kehendak pikiran yang diikuti oleh perasaan kita.

Mending kalau yang dipikirkan dan dirasakan itu adalah hal-hal positif. Tapi, jika yang ditarik itu hanya akan menambah beban pikiran dan hati kita di masa sekarang, detik ini, mengapa dilakukan? Mari rencanakan masa depan, tapi berhentilah mencemaskannya. "Pemborosan energi, penderitaan mental, kegelisahan dan kesedihan hati akan menyertai orang yang khawatir akan masa depannya," tulis Dale Carnegie. Dan, yang bisa kita kerjakan hanyalah segala sesuatu yang ada saat ini, detik ini saja. Kita hanya bisa mengeksekusi rencana apa pun saat sekarang.

Saat Ini, Detik Ini, Fokuslah!

Selanjutnya beban pikiran yang ketiga adalah masa sekarang, saat ini, detik ini, ketika semua orang harus berhadapan dengan berbagai persoalan hidup dan menemukan cara mengatasinya. Lalu bagaimana menyiasati saat sekarang? 

Tetaplah beraktivitas,  bergerak maju. Kita hanya bisa berkarya saat ini, detik ini. Keberhasilan dan kegagalan kita tergantung usaha kita saat ini. Keberhasilan atau kegagalan adalah buah da usaha kita.

Keberhasilan bisa membuat hati senang, sebaliknya kegagalan bisa membuat orang yang mengalaminya bersedih hati. Tetapi, kita masih bisa bangkit dari kegagalan. Kita masih bisa bangun dari kejatuhan. Dan, jika sebuah masalah tak berhasil tertangani bukan berarti dunia akan kiamat! Tetaplah melangkah, berjuang sebisanya, dan serahkan hasilnya kepada Tuhan.

Sertakan saja Tuhan dalam setiap langkah kita. Pandanglah Tuhan sebagai sahabat karib yang selalu setia mendampingi, yang selalu siap sedia menghibur kita saat sedang bersedih, selalu membesarkan jiwa kita saat sedang berputus asa, dan senantiasa mendorong kita jika semangat juang kita sedang terpuruk.

Pandanglah Tuhan sebagai guru sejati yang senantiasa menuntun kita melangkah di jalan yang diridhoi-Nya. Sertakan Tuhan dalam hidup, ikuti arahan-Nya dengan tawakal, maka Anda akan selamat.

Oleh karena itu, berhentilah menarik kesedihan dari masa lalu. Jangan pula mencemaskan masa depan yang belum tiba. Cukup kita berfokus pada saat ini karena hanya pada saat ini, menit ini, detik ini kita dapat melakukan sesuatu. Biarkanlah pikiran, perasaan, tangan, kaki, dan segenap anggota tubuh kita bekerja dengan penuh kesadaran dan  fokus pada saat ini. Ya, saat ini. Sekarang!

Thomas Carlyle menuliskan tentang hal ini dengan indah. "Our main business is not to see what lies dimly at a distance, but to do what lies clearly at hand." Tindakan utama yang harus kita kerjakan bukanlah melihat apa yang terlihat samar-samar di kejauhan sana, melainkan melaksanakan apa yang kelihatan dengan jelas di depan mata.

( I Ketut Suweca, 15 Agustus 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun