Saya menerima banyak curhatan dari para pendidik. Belum lagi keluhan yang muncul di berbagai media, terutama di media sosial. Pada dasarnya, terdapat banyak hal yang mesti dipertimbangkan ketika hendak memberlakukan sistem belajar jarak jauh atau online ini di kalangan siswa.
Saya bisa menangkap niat baiknya bahwa pendekatan teknologi dalam sistem pembelajaran dimaksudkan untuk menjadikan proses belajar-mengajar lebih praktis, cepat, dan efisien. Murid cukup belajar di rumah, guru cukup mengajar dari rumah. Gedung-gedung sekolah tak lagi harus dijadikan tempat pertemuan guru, siswa, dan tenaga administrasi lainnya (?).
Memperhatikan dan menyerap berbagai aspirasi di tengah masyarakat, ijinkan saya menulis hal ini untuk kiranya bisa menjadi pertimbangan sebelum diambil keputusan melanjutkan pola pembelajaran daring, sistem belajar-mengajar yang tak hanya diberlakukan pada saat pandemi covid-19, bahkan untuk seterusnya.
Mempertimbangkan Akses Internet
Pertama, faktor akses internet. Upaya-upaya Pemerintah yang berkerjasama dengan perusahaan BUMN dan swasta di bidang telekomunikasi untuk memperluas jaringan dan bandwith internet hingga masuk ke pelosok-pelosok patut diapresiasi. Usaha-usaha itu tentu dimaksudkan agar semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses internet. Jangkauan internet diharapkan hingga ke bagian terpencil, terluar, dan terjauh negeri ini.
Akan tetapi, harus diakui bahwa pada kenyataannya belum semua wilayah di negeri kita ini terjangkau oleh internet dan internet yang stabil. Dibutuhkan upaya lebih keras dan dana yang memadai untuk mengembangkannya. Diperlukan waktu pula untuk pembangunan jaringannya.
Hingga saat ini, belum semua wilayah di Indonesia terjangkau oleh internet. Keadaan ini harus dijadikan bahan pertimbangan tatkala hendak menerapkan sistem belajar online secara menyeluruh.
Persoalan ini ditambah lagi dengan kemampuan ekonomi para orangtua untuk membiayakan anak-anaknya untuk mengikuti sistem pendidikan pola baru ini. Orangtua harus menyediakan paket internet yang cukup untuk anak-anaknya sehingga bisa lancar menyerap ilmu dari para gurunya.
Bagi orangtua kelas ekonomi terbawah, mungkin menjadi persoalan sulit untuk membeli handphone android atau laptop. Mungkin ia mesti menyisihkan uangnya untuk membeli HP berbasis android atau laptop itu. Uang yang sudah sangat terbatas yang pada awalnya digunakan untuk keperluan membeli bahan makanan bagi keluarga beralih untuk kepentingan membeli gadget dan menyediakan pulsa.
Memperhatikan Keadaan Siswa
Kedua, faktor siswa. Para siswa didik akan dituntut untuk bisa belajar mandiri di rumah. Ia harus standby ketika bapak-ibu guru  menjelaskan materi pelajaran melalui online. Mereka diharapkan duduk manis mengikuti pelajaran.
Sebagian materi pelajaran mungkin bisa diserap dengan baik, tetapi sebagian lagi masih menjadi tanda tanya. Apalagi bagi siswa yang daya tangkapnya agak terbatas. Mereka akan kesulitan dalam berkomunikasi dengan gurunya secara intensif sebagaimana didapatkannya sebelum sistem ini diberlakukan.
Di samping itu, para siswa mau tak mau akan lebih banyak mengurung diri di rumah demi mengikuti pelajaran. Ia mesti memelototi HP atau laptop dari hari ke hari; sesuatu yang secara psikologis sangat menjemukan.
Kebosanan dengan pola baru ini akan membawa anak pada ketidakmampuan berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diberikan. Apalagi, mereka ada yang tergoda oleh hal-hal lain yang lebih menarik perhatian. Berbeda dengan di kelas, mereka sudah disatukan sedemikian rupa, sehingga guru akan jauh lebih mudah mentransfer ilmu dan mengawasi mereka.
Belum lagi persoalan kebutuhan berinteraksi atau bersosialisasi yang sangat dibutuhkan oleh para siswa yang tengah bertumbuh. Mereka butuh bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Kemampuan berinteraksi mereka dilatih dari sini. Nah, bagaimana kalau kemudian karena sistem dan keadaan mereka terpaksa harus berdiam di rumah saja untuk belajar daring?
Sahabat saya, Dr. I Nyoman Gede Remaja, dekan fakultas hukum sebuah universitas swasta di Bali melalui media sosial berkomentar, bahwa dalam pendidikan diperlukan adanya interaksi yang intensif antara pengajar dengan peserta didik, ada komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan secara bersamaan, tentu ini memberikan manfaat bagi peserta didik.
Ia juga menilai pengaruh sistem baru ini terhadap kesehatan mata si anak dan tingkat stress yang dipastikan akan semakin tinggi. "Belum lagi kalau tanpa pengawasan dari orangtua, akan lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang positifnya," tulis doktor ilmu hukum ini.
Ia berharap, setelah pandemi ini sistem pembelajaran dikembalikan seperti semula, seperti saat sebelum covid-19. Pendidikan yang masih didasarkan dengan online, menurutnya, kurang tepat jika diteruskan. "Pendidikan langsung jauh lebih bermanfaat dan efektif ketimbang melalui online," tulisnya.
Bagaimana dengan Guru Kita?
Ketiga, faktor guru. Para guru (pendidik) tak kurang repotnya. Bayangkan, di samping harus menyiapkan materi khusus untuk pembelajaran online, guru pun mesti mengurus seabreg pekerjaan rumah secara bersamaan.
Rumitnya lagi, bagi guru yang mempunyai anak sekolahan juga, maka di samping mesti mengajar para siswanya di mana dia mengajar secara online, ia harus pula menemani anaknya sendiri belajar di rumah.
Banyak guru terpaksa harus belajar bagaimana memanfaatkan teknologi, kendati sudah berumur. Banyak yang merasa gagap teknologi (gaptek). Bagi sebagian besar dari mereka tentu akan memilih pola tatap muka daripada pola online seperti ini.
Sistem belajar yang diterapkan dengan tatap muka langsung adalah yang terbaik. Alasannya, karena pola tatap muka atau belajar di kelas secara nyata, memungkinkan para guru mengontrol sikap dan perilaku para siswa.
Bukankah pembentukan karakter yang paling diutamakan, tak semata-mata kebutuhan akan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi? Pertanyaannya, bisakah hal sepenting dan se-mendasar itu dilakukan secara online?
Apalagi mengingat keadaan guru-guru kita juga sangat beragam, baik lokasi bekerja maupun kualitas sumber daya manusia-nya. Belum lagi kalau berbicara tentang pendapatan mereka, terutama pada guru kontrak atau honor. Dengan kondisi seperti itu, maka akan banyak kesulitan yang dihadapi oleh para guru di Indonesia.
Orangtua yang Tak Kalah Sibuk
Keempat, faktor orangtua. Pendidikan jarak jauh ini dapat dipastikan dapat menambah beban para orangtua. Orangtua yang bekerja di luar rumah akan meninggalkan putra-putrinya belajar di rumah. Karena harus bekerja ke kantor, para orangtua, mau tak mau, tidak bisa mendampingi anak-anaknya belajar di rumah.
Si anak pun akan belajar mandiri di rumah. Entah bagaimana hasilnya. Tak ada yang secara langsung membimbing mereka, tak ada yang mengawasi sikap dan perilaku mereka. Apakah anak akan mampu berkonsentrasi sekian jam pelajaran dalam sehari, masih menjadi tanda tanya besar.
Kendati pun, misalnya, para orangtua masih bisa menyisihkan waktu untuk mendampingi putra-putri mereka belajar, hasilnya apakah sama jika mereka didampingi oleh para guru yang dididik untuk mengajar dengan ilmu pedagogik-nya?
Anak yang dalam belajar didampingi orangtua tentu akan berbeda hasilnya dibanding anak didampingi para gurunya. Saya meyakini, bahwa kehadiran guru dan petunjuknya jauh lebih dipatuhi daripada orangtua mereka. Hal ini antara lain lantaran kompetensi para guru dan suasana belajar yang terbentuk.
Belum percaya? Lihat dan dengarlah, banyak orangtua yang mengeluh betapa anak-anaknya sulit disuruh belajar. Mereka lebih suka bermain game, misalnya. Nah, dalam kondisi seperti ini, bisakah diyakini bahwa sistem belajar berbasis IT di rumah saja ini akan berhasil?
Pembentukan Karakter Siswa
Menurut saya, sistem belajar jarak jauh ini setelah pandemi sebaiknya disudahi saja. Jangan diberlakukan terhadap para para siswa di tingkat pendidikan dasar dan menengah.Â
Untuk anak-anak dan remaja, lebih cocok diberlakukan sistem pendidikan seperti yang sudah berjalan sebelumnya, tatap muka langsung di dalam kelas di sekolah dengan mematuhi protokol kesehatan. Bukan melalui online.
Kalau sesekali ada tatap muka menggunakan sistem online, ya, tak masalah untuk melatih mereka menggunakan teknologi. Tapi, janganlah hendaknya sistem ini dijadikan pilar utama dalam sistem pembelajaran.
Pertimbangan utamanya adalah soal pembentukan suasana belajar serta kebutuhan siswa bersosialisasi, di samping perlunya pendampingan dan pengarahan dalam rangka  pembentukan sikap dan perilaku yang berkarakter baik bagi para siswa didik. Mereka sedang bertumbuh secara fisik dan psikologis sehingga sangat memerlukan pendampingan dari para guru yang memang ditugaskan dan memiliki kompetensi untuk itu.
Jika mereka sudah dewasa, kuliah di tingkat perguruan tinggi, sistem belajar jarak jauh sudah tidak terlalu menjadi persoalan. Sangat dimungkinkan dilaksanakan.Â
Karena pada tingkatan usia seperti ini, pada umumnya karakter orang sudah terbentuk sedemikian rupa, relatif sudah memiliki kematangan mental, sehingga bisa fokus memperlengkapi diri dengan bidang keilmuan dan teknologi yang diperlukan dalam pengembangan diri.
Kendati sangat sederhana, mudah-mudahan pandangan ini bisa menjadi bahan masukan bagi Mas Nadiem dan jajaran beliau.
(Â I Ketut Suweca, 31 Juli 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H