Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghadapi Orang yang Tak Dikenal, Bagaimana Seharusnya Bersikap?

20 Juli 2020   20:08 Diperbarui: 25 Oktober 2022   15:17 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana sikap Anda ketika pertama kali bertemu dengan orang yang tidak Anda kenal? Apakah Anda akan segera akrab? 

Atau, sebaliknya, tetap bersikap waspada dengan menjaga jarak? Pernahkah Anda ditipu orang tak dikenal? Seberapa yakin Anda dengan orang yang baru saja Anda temui?

Malcolm Gladwell melalui bukunya yang berjudul Talking to Strangers memberikan sejumlah kisah sebagai referensi untuk dipertimbangkan ketika kita berhadapan dengan orang yang tak kita kenal. Mari kita membahasnya.

Bercakap-cakap di Lobi

Buku setebal 403 halaman yang pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit  Gramedia ini diawali dengan kisah ayah sang penulis. 

Gladwell mengisahkan bahwa bertahun-tahun yang lalu ayahnya asyik bercerita dengan seorang pria di New York City. Mereka baru pertama kalinya bertemu tetapi cepat sekali larut dalam percakapan yang mengasyikkan.

Ketika kemudian Gladwell bertanya kepada ayahnya, siapa yang diajaknya ngobrol berlama-lama, ayahnya bilang tidak tahu.

"Oh ayah tidak tahu. Tapi, orang-orang terus mendatanginya dan meminta dia berfoto bersama..."

Pernahkah Anda mengalami hal seperti itu? Saya  kadang-kadang mengalami hal seperti itu dalam pergaulan dengan orang-orang baru, orang yang  belum saya kenal. 

Saya jadi enak saja ngobrol saat dalam perjalanan atau ketika menunggu. Di antara kami tak menanyakan atau mengemukakan identitas.

Polisi dan Pengemudi

Satu kisah lagi. Dikisahkan, seorang polisi memaksa turun dari mobil seorang perempuan yang melanggar lalu lintas lantaran lupa memberikan lampu sein ketika berpindah jalur. Sandra Bland, sang pengemudi itu, terlibat adu mulut dengan polisi yang menyetopnya.

"Karena tidak menyalakan lampu sein? Kamu melakukan ini semua karena saya tidak menyalakan lampu sein?," tanya Bland kepada polisi yang membentaknya lantaran tak mau turun dari mobilnya. 

Ia tak bersedia keluar dari mobilnya sampai akhirnya diancam oleh polisi dengan memperlihatkan senjata listrik kejut.

Karena dipandang melanggar lalu-lintas dan melawan petugas, akhirnya Bland ditangkap dan dipenjara. Apa yang terjadi selanjutnya? Tiga hari kemudian Bland kedapatan telah bunuh diri di dalam penjara Texas.

Kematian Bland mungkin bisa membuat kita merenung, ada apa dengan Bland dan si polisi serta suasana kebatinan mereka saat itu? 

Selaras dengan hal itu, jika kita saat ini bersedia mawas diri mengenai cara kita mendekati dan memahami orang tak dikenal, maka kemungkinan kasus bunuh diri seperti Bland tak akan terjadi.

Penyair Sylvia Plath Bunuh Diri

Kisah lain lagi. Dikisahkan, pada musim gugur 1962, penyair Amerika Sylvia Plath meninggalkan pondoknya di perdesaan Inggris dan menuju London. 

Suaminya, Ted Hughes, lari ke pelukan perempuan lain, meninggalkannya dengan dua anak kecil. Ia tinggal di sebuah apartemen di kawasan Primrose Hill, London. 

Ia berkabar kepada ibunya bahwa dia menulis dari London, ia begitu bahagia sehingga sampai tak kuasa bicara saking bahagianya.

Di tempatnya yang baru, Plath menulis pagi-pagi sementara anak-anaknya masih tidur. Produktivitasnya luar biasa. Pada Desember ia menyelesaikan satu kumpulan puisi, dan penerbitnya berkata kumpulan puisi itu seharusnya memenangkan Hadiah Pulitzer.

Penerbitnya mengatakan, Sylvia sudah berada di jalur menjadi salah seorang penyair muda paling terkenal di dunia, reputasi yang akan tumbuh pada tahun-tahun sesudahnya.

Namun, pada akhir Desember, ketika cuaca sangat dingin melanda London, Sylvia ketahuan telah meninggal.  Dia menyalakan gas kompor, memasukkan kepalanya ke oven, dan bunuh diri dengan cara itu. 

Sebelumnya, Plath meletakkan makanan dan air untuk anak-anaknya dalam kamar mereka serta membuka jendela kamar.

Sebagai catatan tambahan, Gladwell menulis bahwa harapan hidup penyair, sebagai suatu kelompok, lebih pendek dibanding penggubah drama, penulis novel, dan penulis nonfiksi. Penyair lebih sering mengalami "gangguan emosional" dibanding aktor, pemusik, komponis, dan penulis novel. Tetapi, benarkah?

Kembali ke kisah Plath. Kita melihat riwayat Sylvia Plath dan mendapat kilasan kehidupan dan karyanya, dan mungkin kita pikir bahwa kita sudah bisa memahami dia. Padahal, kita baru tahu hanya seujung kuku tentangnya.

Padahal, sebenarnya ia sejak awal sudah terobsesi untuk bunuh diri. Ia mantan pasien rumah sakit jiwa. Dia berasal dari keluarga yang berantakan. 

Dan, ia sudah ditinggal ayahnya sejak usia 8 tahun, dan sering mengalami depresi. Kita hanya tahu, ia seorang penyair dengan karya-karyanya yang terkenal.

Cepat Menghakimi Orang Lain?

Barangkali kita berpikir bahwa kita dapat dengan mudah mengetahui orang lain hanya dengan sedikit data atau informasi. 

Atau, bahkan tanpa informasi sama sekali. Melihat sepintas, kita sudah menilai seseorang itu begini atau begitu. Memberikan penilaian, bahkan menghakimi.

"Kita cepat sekali menghakimi orang tak dikenal. Kita tak akan melakukan kepada diri sendiri, tentu saja. Kita bernuansa, dan kompleks, dan misterius," tulis Gladwell, seraya mengatakan bahwa sejatinya tak mudah membaca orang. "Andai saya bisa meyakinkan Anda mengenai satu hal, inilah dia: Orang tak dikenal itu tidak mudah dibaca."

Apa yang kita  temukan sebagai dasar awal dalam membuat kesimpulan tentang orang yang tak dikenal seringkali meleset.  

Cara yang benar berbicara dengan orang yang tak dikenal, menurut Gladwell, adalah dengan waspada dan rendah hati. Betapa banyak konflik, krisis, dan kontroversi yang bisa dicegah andai kita mengamalkan peringatan ini.

 ( I Ketut Suweca, 20 Juli 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun