Penerbitnya mengatakan, Sylvia sudah berada di jalur menjadi salah seorang penyair muda paling terkenal di dunia, reputasi yang akan tumbuh pada tahun-tahun sesudahnya.
Namun, pada akhir Desember, ketika cuaca sangat dingin melanda London, Sylvia ketahuan telah meninggal. Â Dia menyalakan gas kompor, memasukkan kepalanya ke oven, dan bunuh diri dengan cara itu.Â
Sebelumnya, Plath meletakkan makanan dan air untuk anak-anaknya dalam kamar mereka serta membuka jendela kamar.
Sebagai catatan tambahan, Gladwell menulis bahwa harapan hidup penyair, sebagai suatu kelompok, lebih pendek dibanding penggubah drama, penulis novel, dan penulis nonfiksi. Penyair lebih sering mengalami "gangguan emosional" dibanding aktor, pemusik, komponis, dan penulis novel. Tetapi, benarkah?
Kembali ke kisah Plath. Kita melihat riwayat Sylvia Plath dan mendapat kilasan kehidupan dan karyanya, dan mungkin kita pikir bahwa kita sudah bisa memahami dia. Padahal, kita baru tahu hanya seujung kuku tentangnya.
Padahal, sebenarnya ia sejak awal sudah terobsesi untuk bunuh diri. Ia mantan pasien rumah sakit jiwa. Dia berasal dari keluarga yang berantakan.Â
Dan, ia sudah ditinggal ayahnya sejak usia 8 tahun, dan sering mengalami depresi. Kita hanya tahu, ia seorang penyair dengan karya-karyanya yang terkenal.
Cepat Menghakimi Orang Lain?
Barangkali kita berpikir bahwa kita dapat dengan mudah mengetahui orang lain hanya dengan sedikit data atau informasi.Â
Atau, bahkan tanpa informasi sama sekali. Melihat sepintas, kita sudah menilai seseorang itu begini atau begitu. Memberikan penilaian, bahkan menghakimi.
"Kita cepat sekali menghakimi orang tak dikenal. Kita tak akan melakukan kepada diri sendiri, tentu saja. Kita bernuansa, dan kompleks, dan misterius," tulis Gladwell, seraya mengatakan bahwa sejatinya tak mudah membaca orang. "Andai saya bisa meyakinkan Anda mengenai satu hal, inilah dia: Orang tak dikenal itu tidak mudah dibaca."