Kami, para murid, harus menulis dengan pelan-pelan dan dengan penuh perasaan. Juga, dengan hati-hati, karena ada bagian yang mesti tebal, ada bagian yang tipis. Untuk satu huruf saja, ada bagian yang ditebalkan dan ditipiskan. Kalau ditulis dengan menggunakan pensil, keindahannya akan tampak jelas sekali.
Kembali Menulis Diary
Hanya saja, tak seperti di awal ketika ditulis, tulisannya masih terang dan mudah dibaca, kini warnanya sudah mengabur, meleleh, memudar karena dimakan waktu. Sudah "ambyar," kata Mark Manson. Tapi, tak mengapa, masih tetap bisa dibaca kok.
Apa sih manfaat menulis di buku harian? Salah satunya tentu saja agar kelak bisa dilihat-lihat, membaca bagian-bagiannya, jadi semacam upaya mengenang masa lalu.Â
Apa yang pernah kita rasakan di masa silam, apa yang terpikir saat itu, apa peristiwa yang terjadi dan bagaimana pula pandangan kita terhadap peristiwa tersebut, bisa ditelusuri melalui diary.
Selain itu, menulis diary menjadi arena latihan mensinergikan tangan, pikiran, dan perasaan (hati) sehingga terwujud gagasan yang terangkai manis dalam bentuk tulisan.
Buku diary juga menjadi wahana yang tepat untuk mencurahkan unek-unek yang mengganjal, kesedihan, kegembiraan, sakit hati, pokoknya menjadi tempat curhat. Buku diary menjadi wadah yang siap menampung semua unek-unek yang berkelindan di dalam  pikiran dan batin kita.
Dan, jangan lupa, catatan harian bisa menjadi buku yang diterbitkan yang bisa membuat si penulis jadi terkenal. Tak percaya? Lihatlah, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, Zlata Filipofic dan Anne Frank, yang menjadi terkenal setelah buku cacatan harian mereka diterbitkan.
Seperti disebut di dalam buku Iqbal Dawami, catatan harian itu berisi pandangan penulisnya terhadap suatu peristiwa yang tengah berlangsung yang kemudian sebagai sebuah cacatan penting dalam sejarah.
Memetik "Miracle" dari Menulis