Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Penulis Nonfiksi, Perlukah Membaca Karya Sastra?

30 April 2020   14:08 Diperbarui: 30 April 2020   14:18 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat kompasianer, sebagai penulis, tentu kita bisa sepakat bahwa membaca itu sangat penting dan perlu. Dengan membaca banyak buku dan sumber lainnya, kita akan mendapatkan banyak masukan, berupa wawasan, pengetahuan, dan informasi. Dengan modal itu, kita bisa terus berkarya sebagai penulis.

Sebagaimana diketahui, penulis itu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penulis fiksi dan penulis nonfiksi. Masing-masing kelompok memiliki ranah penulisannya tersendiri. Akan tetapi, dalam banyak kasus, penulis fiksi tak melulu menulis buku atau artikel bernuansa sastra.

Mereka juga terkadang menulis karya nonfiksi, seperti opini artikel ilmiah populer dan sejenisnya. Sebaliknya, penulis nonfiksi sesekali juga menulis karya fiksi seperti cerpen dan puisi. Begitulah realitasnya, kendati pun ada yang sengaja hanya berfokus di salah satu bidang pilihan.

Membaca Beberapa Novel

Nah, kembali ke pokok soal, apakah penulis nonfiksi perlu membaca karya fiksi seperti novel? Saya yang  punya kecenderungan menulis nonfiksi -- seperti tulisan ini, suka juga menikmati buku sastra atau fiksi.

Hanya sedikit buku sastra yang saya baca. Beberapa diantaranya adalah novel karya Andrea Hirata yang bertajuk Laskar Pelangi, sebuah karya  yang sangat inspiratif. Satu lagi karya Andrea yang belum tuntas saya nikmati adalah novel yang berjudul Ayah.

Selanjutnya saya sangat menikmati novel buah karya Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA yang juga penerima 8 beasiswa luar negeri. Tiga novelnya yang berjudul Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara, sudah saya nikmati. Ketiga novel hebat itu sungguh bacaan yang bukan saja ditulis dengan cermat dan bagus, juga berisi pesan yang sarat akan  makna.

Dari novel tersebut, pembaca bisa memahami sedikit bagaimana kehidupan di pesantren. Pesantren tak lagi dibayangkan sebagai lembaga yang hanya berkutat dengan pelajaran agama, bahkan juga pelajaran hidup lainnya. Kemajuan perkembangan teknologi pun dimanfaatkan seperti dikisahkan dalam novel ini.  

Berikutnya, saya  baru saja selesai membaca buku karya novelis India, Amish Tripathi, yang berjudul Siwa, Kesatria Wangsa Surya. Buku itu mengisahkan tentang kehidupan masa lalu  wangsa surya di negeri India. Buku keduanya yang berjudul Siwa, Rahasia Kaum Naga, sudah saya beli, hanya  belum sempat saya baca. Amish terbilang pintar membawa pembacanya larut ke dalam alur cerita.

Yang tak kalah menariknya adalah karya-karya Paulo Coelho. Saya punya beberapa bukunya, diantaranya berjud Sang Penyihir dari Portobello dan Sang Pemenang Berdiri Sendirian.  Buku yang saya sebut pertama sudah sempat saya baca, sedangkan yang kedua belum.  Sepintas saya melihat keunggulan buku Coelho ada pada kemampuannya merangkai kata sehingga menjadi indah dan menarik ditambah lagi dengan alur cerita yang unik.

Manfaat Membaca Novel bagi Penulis Nonfiksi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun