Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Sikap Rendah Hati dalam Kearifan Lokal Bali

16 April 2020   16:22 Diperbarui: 18 April 2020   05:11 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar | Pinterest : Be thankful and play Some music for nature Find this Pin and more on ילדים by Atara.

Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal ini menjadi panduan bagi masyarakat lokal dalam menjalani kehidupan. Tidak hanya dipedomani dalam meraih kemajuan, juga dalam menjalani hidup yang selaras dengan alam.

Di Bali, ada berbagai kearifan lokal yang tetap dirawat dan dijadikan sesuluh oleh masyarakat setempat. Salah satu local wisdom yang cukup dikenal adalah "Eda Ngaden Awak Bisa". Ini sesungguhnya sebuah filosofi hidup yang sangat substansial.

Gending dan Artinya

Kearifan lokal tersebut dikemas ke dalam bentuk nyanyian (gending) sehingga dengan mudah diikuti dan dinyanyikan oleh anak-anak sekalipun. Di-setting secara ringan dan dipopulerkan melalui Pupuh Ginada. Begini bunyinya:

Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luhu
Ilang luhu buke katah
Yadin ririh, liyu enu pelajahin.

Jika diterjemahkan secara bebas, artinya kurang-lebih demikian:

Jangan pernah merasa dirimu bisa (hebat)
Biarlah orang lain yang menilai
Ibarat pekerjaan menyapu
Sampah akan selalu tumbuh (ada)
Kalau pun sampahnya hilang, masih ada banyak debu
Meskipun pintar, masih banyak hal yang mesti engkau pelajari

Gending ini sudah sangat dikenal di daerah Bali. Tidak hanya para orang tua dan dewasa yang mengetahui dan mampu menyanyikannya. Anak-anak pun dilatih oleh para guru dan orangtua mereka menghafalkan dan menyanyikan lagu yang diwariskan secara turun-temurun ini.

Pertanyaannya, sudahkah nilai-nilai yang terkandung di dalam gending itu sepenuhnya dipahami dan dijadikan way of life dalam kehidupan? Belum tentu. 

Oleh karena itu, pemahaman terhadap makna dari nilai-nilai luhur lagu itu sekaligus usaha mewujudkannya dalam praktik kehidupan selalu menjadi pekerjaan rumah yang harus dilakukan secara berkesinambungan.

Selalu Mawas Diri

Di dalam tulisan ini, akan dibahas sedikit tentang makna filosofisnya. Penulis belum mampu menyajikannya secara lengkap dan komprehensif. Namun, daripada tidak, lebih baik jika filosofi tersebut disuguhkan di sini dengan dilandasi niat baik. Apa nilai-nilai yang terkadung dalam "Eda Ngaden Awak Bisa"?

Pertama, ajakan untuk selalu mawas diri. Sikap dan tindakan mawas diri mengajak siapa pun untuk lebih melihat ke dalam. Melihat ke dalam dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan, kesalahan, dan keterbatasan diri sebagai manusia biasa. 

Dengan mengetahui kekurangan itu, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan perbaikan di dalam dengan bertanya, misalnya, kekeliruan apa yang sudah saya lakukan? Sikap dan perilaku apa yang seharusnya saya miliki? Semuanya itu adalah bentuk upaya mawas diri.

Banyak orang yang cenderung menyalahkan orang lain alih-alih melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Ada peribahasa "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak." 

Peribahasa ini menggambarkan betapa mudahnya seseorang melihat kesalahan orang lain dibanding kesalahan sendiri.

Seturut dengan sikap mawas diri ini, ada juga ungkapan lain yang sarat makna, misalnya, "ingatlah selalu, jika satu jari telunjukmu menuding orang lain, tiga jari lainnya mengarah ke dirimu sendiri."

Ungkapan ini, sekali lagi, mengingatkan kita untuk berpikir berkali-kali jika hendak menimpakan kesalahan pada orang lain.

Di perguruan beladiri Shorinji Kempo, para kenshi diajarkan filosofi "taklukkan dirimu sendiri sebelum menaklukkan orang lain" yang menjadi semacam pesan moral dan pagar pembatas yang tidak boleh dilanggar.

Selalu Bersikap Rendah Hati

Kedua, bersikap rendah hati. Sikap ini sangat dianjurkan dalam filosofi "eda ngaden awak bisa." Tapi, selalu harus diingat, rendah hati jelas berbeda dengan rendah diri. 

Rendah diri adalah sikap dan perilaku yang selalu ragu-ragu, tidak percaya diri, enggan mengemukakan pendapat walaupun perlu dan penting, malu bertanya, dan sejenis dengan ini.

Sebaliknya, sikap rendah hati mewujud dalam bentuk sikap positif, santun, dan bermartabat. Kendati pun orang sudah pintar, ahli, atau berilmu, namun dalam kesehariaan ia sama sekali tidak menunjukkan kesombongan atau keangkuhan. Tidak merasa diri paling pintar atau paling hebat. Sebab, di atas langit masih ada langit.

Kesombongan adalah sikap dan perilaku yang tidak disukai di dalam pergaulan. Pribadi yang angkuh hanya akan menuai musuh daripada mendapatkan kawan. 

Padahal, kita ingin memiliki pergaulan yang luas dengan banyak sahabat, bukan? Laku keangkuhan bertolak belakang secara frontal dengan niat dan upaya membina persahabatan.

Itulah sebabnya, kerendahan hati harus dijaga, dirawat, dan dipedomani dalam kehidupan, siapa pun dia, betapa pun tinggi kekuasaannya, dan betapa pun hebat ilmu yang dimilikinya. Begitulah pesan yang disampaikan dalam kearifan tersebut.

Jangan Pernah Berhenti Belajar

Ketiga, kesediaan untuk terus belajar. Kearifan lokal "eda ngaden awak bisa" juga mendorong orang untuk terus meningkatkan diri sehingga menjadi pribadi yang lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Jangan sekali pun merasa pintar sehingga tak mau belajar.

Seperti kata tetua, sehebat-hebatnya manusia, yang ia ketahui tak lebih dari setetes atau setitik air dari samudera yang luas. Yang kita ketahui hanya setetes, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan keseluruhan. 

Banyak hal yang tidak kita ketahui, bahkan sebagian di antaranya masih menjadi misteri yang belum terungkap.

Mari memilih mawas diri daripada memelihara kebiasaan menyalahkan orang lain. Mari terus belajar walaupun sudah (dibilang) pintar. Dan, mari selalu bersikap rendah hati kendati sudah berilmu tinggi.

( I Ketut Suweca, 16 April 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun