Sebaliknya, sikap rendah hati mewujud dalam bentuk sikap positif, santun, dan bermartabat. Kendati pun orang sudah pintar, ahli, atau berilmu, namun dalam kesehariaan ia sama sekali tidak menunjukkan kesombongan atau keangkuhan. Tidak merasa diri paling pintar atau paling hebat. Sebab, di atas langit masih ada langit.
Kesombongan adalah sikap dan perilaku yang tidak disukai di dalam pergaulan. Pribadi yang angkuh hanya akan menuai musuh daripada mendapatkan kawan.
Padahal, kita ingin memiliki pergaulan yang luas dengan banyak sahabat, bukan? Laku keangkuhan bertolak belakang secara frontal dengan niat dan upaya membina persahabatan.
Itulah sebabnya, kerendahan hati harus dijaga, dirawat, dan dipedomani dalam kehidupan, siapa pun dia, betapa pun tinggi kekuasaannya, dan betapa pun hebat ilmu yang dimilikinya. Begitulah pesan yang disampaikan dalam kearifan tersebut.
Jangan Pernah Berhenti Belajar
Ketiga, kesediaan untuk terus belajar. Kearifan lokal "eda ngaden awak bisa" juga mendorong orang untuk terus meningkatkan diri sehingga menjadi pribadi yang lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Jangan sekali pun merasa pintar sehingga tak mau belajar.
Seperti kata tetua, sehebat-hebatnya manusia, yang ia ketahui tak lebih dari setetes atau setitik air dari samudera yang luas. Yang kita ketahui hanya setetes, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan keseluruhan.
Banyak hal yang tidak kita ketahui, bahkan sebagian di antaranya masih menjadi misteri yang belum terungkap.
Mari memilih mawas diri daripada memelihara kebiasaan menyalahkan orang lain. Mari terus belajar walaupun sudah (dibilang) pintar. Dan, mari selalu bersikap rendah hati kendati sudah berilmu tinggi.
( I Ketut Suweca, 16 April 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H