Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senyuman yang Keluar dari Hati Akan Sampai ke Hati

12 April 2020   19:56 Diperbarui: 13 April 2020   17:26 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/Sarah S

"Setiap kali Anda melangkah keluar pintu, tarik dagu Anda ke dalam, angkat kepala Anda tinggi-tinggi, dan penuhi paru-paru Anda; rasakan sinar matahari; sapa kawan-kawan Anda dengan senyuman, masukkan semangat dalam setiap jabat tangan..." (Dale Carnegie)

Istri saya baru saja datang dari pasar. Ia bilang, entah mengapa pasar selalu ramai belakangan ini. Di samping membeli kebutuhan lain, ia juga membeli pasar buah. Istri saya pun bertutur tentang pengalamannya seputar sikap pedagang saat berbelanja di pasar tradisional.  Kurang-lebih seperti ini ceritanya mengenai pedagang buah.

 "Manis nggak Bu semangka ini? Anak saya yang kedua suka sekali dengan buah semangka. Syaratnya, semangka harus manis dan isinya berwarna kuning," kata istri saya memulai percakapan dengan pedagang.

"Manislah Bu, semanis dagangnya," balasnya sambil tersenyum.

Pedagang itu dengan sigap mengambil "contoh" semangka yang sudah dibukanya sedikit. Contoh itu dimaksudkan untuk meyakinkan pembeli sekaligus membuktikan bahwa semangka yang dijualnya boleh dicoba dengan mencicipi.  Dalam bahasa Bali, contoh kecil untuk icip-icip dikenal dengan sebutan pintonan.

"Boleh cicip sedikit ya Bu? " tanya istri saya.

Pedagang pun menjawab dengan anggukan sambil tersenyum.

"Nggih. Boleh Bu. Silakan dicicipi," sambil kedua tangannya menyorongkan contoh tadi dekat ke istri saya untuk dicicipi.

"Kalau nggak cocok, boleh nggak beli ya Bu?" katanya istri saya memancing.

"Oh nggak apa-apa Bu. Jangan khawatir. Boleh. Biasalah  seperti ini. Yang namanya berdagang Bu," tambahnya.

Istri saya mengaku semangka itu tak manis-manis amat. Tapi, karena pedagangnya ramah dalam melayani, akhirnya ia membeli sebutir semangka pada ibu tersebut.

"Terima kasih banyak Bu nggih. Garus... garusss...," begitu ibu penjual semangka tadi berujar sambil menepuk-nepukkan uang yang diserahkan istri saya di atas barang dagangannya tanpa melepas senyum. (Garus itu adalah Bahasa Bali yang berarti rasa syukur kepada Tuhan atas transaksi pertama yang diperolehnya. Berharap jualannya laris manis setelah itu).

Dagang Capcay yang Pelit Senyum

Sekarang saya ingin bertutur tentang pedagang capcay, tak jauh dari pasar tadi. Ceritanya begini.

 "Bapak, saya beli dua bungkus capcay nggih," kata saya mengawali.

Pedagang dengan nyaris tanpa respons di wajah itu lalu mengerjakan pesanan saya. Beberapa saat kemudian, capcay yang saya pesan sudah selesai dan saya pun siap membayar sesuai harganya.

Ia menyerahkan capcay itu juga tanpa ekspresi, datar saja. Mengembalikan sisa uang juga tanpa ekspresi. Jangan berharap mendapat sekadar terima kasih dari dagang ini. Saya sudah berbelanja dua kali di situ dan kedua kalinya ekspresi si penjual tetap sama.

Pernah belakangan saya minta anak berbelanja ke sana, ternyata  ia juga mengatakan pedagang capcay itu diam saja, jauh dari ramah. Padahal orang sering bilang, jika tak bisa tersenyum, jangan berdagang! Si pedgang barangkali belum tahu rumus afdal itu.

Senyum Palsu atau Senyum Sungguhan?

Senyum, pada umumnya dibagi dua jenis, yakni senyum palsu dan senyum sungguhan. Nah, kalau saya membahas ini, bukan kajian ilmiah ya, hanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Senyum palsu adalah senyum yang dibuat-buat, senyum yang penuh kepura-puraan. Bibir tersenyum, tapi hati tidak. Itulah senyum palsu, he he he.

Sebaliknya, senyum sungguhan adalah senyum yang keluar dari hati. Bukan hanya bibir yang tersenyum, hati pun tersenyum. Senyum di hati diekspresikan ke luar dengan senyum di bibir. Asli, orisinal.

Bisakah kita membedakan kedua senyum itu? Nah, diantara dua tipe senyum ini, saya yakin pembaca akan pilih senyum sungguhan. Tapi, harap berhati-hati, senyum kategori ini sangat menular. Maksud saya, kalau orang tersenyum dari hati, orang lain pun akan membalas senyum dari hati pula. Senyum yang berasal dari hati akan sampai ke  hati.

Sampai di sini saya teringat dengan pesan Prof. James V. McConnell, seorang psikolog di Universitas Michigan, Amerika Serikat, sebagaimana ditulis dalam buku karya Dale Carnegie yang sangat mendunia, How to Win Friends and Influence People.

McConnell mengatakan,"Orang yang tersenyum cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih efektif dan membesarkan anak-anak dengan lebih bahagia."

Nah, sampai di sini, tidak inginkah sahabat-sahabat kompasiana menyunggingkan senyum di sudut bibir? Ayo, tersenyumlah. Dengan banyak tersenyum, dunia akan berubah, orang-orang pun berubah. Lihat, semuanya kompak dan bersekongkol membantu Anda meraih kemajuan.

( I Ketut Suweca, 12 April 2020).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun