Istri saya mengaku semangka itu tak manis-manis amat. Tapi, karena pedagangnya ramah dalam melayani, akhirnya ia membeli sebutir semangka pada ibu tersebut.
"Terima kasih banyak Bu nggih. Garus... garusss...," begitu ibu penjual semangka tadi berujar sambil menepuk-nepukkan uang yang diserahkan istri saya di atas barang dagangannya tanpa melepas senyum. (Garus itu adalah Bahasa Bali yang berarti rasa syukur kepada Tuhan atas transaksi pertama yang diperolehnya. Berharap jualannya laris manis setelah itu).
Dagang Capcay yang Pelit Senyum
Sekarang saya ingin bertutur tentang pedagang capcay, tak jauh dari pasar tadi. Ceritanya begini.
 "Bapak, saya beli dua bungkus capcay nggih," kata saya mengawali.
Pedagang dengan nyaris tanpa respons di wajah itu lalu mengerjakan pesanan saya. Beberapa saat kemudian, capcay yang saya pesan sudah selesai dan saya pun siap membayar sesuai harganya.
Ia menyerahkan capcay itu juga tanpa ekspresi, datar saja. Mengembalikan sisa uang juga tanpa ekspresi. Jangan berharap mendapat sekadar terima kasih dari dagang ini. Saya sudah berbelanja dua kali di situ dan kedua kalinya ekspresi si penjual tetap sama.
Pernah belakangan saya minta anak berbelanja ke sana, ternyata  ia juga mengatakan pedagang capcay itu diam saja, jauh dari ramah. Padahal orang sering bilang, jika tak bisa tersenyum, jangan berdagang! Si pedgang barangkali belum tahu rumus afdal itu.
Senyum Palsu atau Senyum Sungguhan?
Senyum, pada umumnya dibagi dua jenis, yakni senyum palsu dan senyum sungguhan. Nah, kalau saya membahas ini, bukan kajian ilmiah ya, hanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Senyum palsu adalah senyum yang dibuat-buat, senyum yang penuh kepura-puraan. Bibir tersenyum, tapi hati tidak. Itulah senyum palsu, he he he.