Pertanyaan "Mengapa" dan "Bagaimana"
Keempat, ajukan pertanyaan. Ini mirip dengan pointer ketiga di atas, tetapi sedikit lebih panjang. Hal ini penting dilontarkan jika kita ingin kawan bicara meneruskan tuturannya lebih panjang lagi. Hindari pertanyaan yang jawabannya "ya" atau "tidak." Ajukan pertanyaan dengan pendekatan "mengapa" dan "bagaimana."
Kedua pola pertanyaan ini, pada umumnya, mampu menggugah orang untuk dengan senang hati bercerita lebih banyak. Â Ketika kita berbincang tentang kesehatan, misalnya, boleh dijakukan pertanyaan ini: "Di berbagai tempat, banyak orang terserang demam berdarah. Mengapa ya Pak?" Â Contoh lain, "Ceritakan dong Pak, bagaimana awalnya Bapak nimbrung menulis di kompasiana?"
Kelima, dasarilah dengan ketulusan hati. Seperti yang saya kemukakan di awal, libatkan hati yang tulus ketika mendengar. Jika hati kita menolak, lebih baik jangan mendengarkan. Hati yang tulus yang dilandasi penghargaan terhadap sesama adalah modal dasar yang tak bisa diabaikan.
Jika hati kita diliputi rasa "keminter" (merasa paling pintar), tidak mau belajar (merasa sudah terlalu pandai), tak mau rendah hati (merasa diri berderajat lebih tinggi dan lebih hebat), maka menjadi pendengar yang baik menjadi sesuatu yang super-duper sulit.
Semuanya berawal dari ketulusan dan keikhlasan hati untuk bersedia belajar dan menghargai orang lain.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, mari kita simak apa kata Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya, Â berikut: "Keberanian adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk berjuang dan bersuara; keberanian juga berarti duduk dan mendengarkan."
( I Ketut Suweca, 28 Februari 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H