Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pitutur Orangtua dan Orang Suci, Penerang Jalan Kehidupan

22 Desember 2019   22:05 Diperbarui: 30 Maret 2020   17:48 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/89931323780499933/

Ketika pengelola kompasiana mengajak para kompasianer menulis tentang Pitutur Ibu, tiba-tiba hati saya tergerak. Saya ingin menulis tentang pitutur orang tua dan orang suci yang saya hormati.  Saya percaya, pitutur-pitur itu semuanya bermaksud baik, terlebih-lebih ditujukan kepada orang terdekat atau si buah hati. Ia menjadi penerang jalan kehidupan.

Bertutur Melalui Tindakan

Saya memiliki Ibu yang sudah lama meninggal, begitu saya tamat sekolah menengah atas. Beliau lama sekali berbaring di rumah sakit dan pada satu bulan terakhir sempat dalam kondisi koma. Mengenang peristiwa itu, saya teringat saat saya dan adik berdoa tengah malam di samping tempat tidur Ibu yang sudah sebulan tak sadarkan diri.

Pada tengah malam, di sisi pembaringan beliau, kami berdua khusuk memohon kepada Tuhan untuk diberikan jalan terbaik untuk Ibu. "Ya, Tuhan, berikanlah jalan terbaik untuk Ibu kami. Beliau sudah sangat lama sakit dan menderita. Jika Tuhan berkenan membantunya, mohon sembuhkanlah beliau. Jika tidak, kami ikhlaskan engkau memanggilnya pulang ke pangkuan-Mu," seperti itulah doa saya malam itu.

Dan, tak lebih dari dua jam kemudian, Ibu menghembuskan nafas terakhir. Saya ikhlas, adik ikhlas, kakak ikhlas, ayah ikhlas -- semua mengikhlaskan kepergian Ibu. Mungkin itu jalan yang terbaik daripada beliau terus menderita dalam waktu yang lama.

Semasa hidup, Ibu tak banyak memberi nasehat. Beliau lebih banyak diam. Beliau 'berucap' dengan tindakan. Menjadi contoh, terutama dalam kerja keras yang luar biasa. Hari-hari Ibu adalah pergi ke pasar, lalu berjualan nasi dan berbagai keperluan rumah tangga  lainnya di warung depan rumah kami. Begitu dan begitu terus dari tahun ke tahun. Warung nasi kecil yang kami miliki menjadi tumpuan untuk melanjutkan kehidupan, untuk bisa makna sehari-hari dan bisa bersekolah.

Pesan Ayah yang Selalu Terngiang

Ayah saya seorang petani yang sehari-harinya berkutat di sawah yang tidak seberapa luas. Berbeda dengan Ibu yang bertutur dengan tindakan, ayah kadang mengajak kami, anak-anaknya, berbincang-bincang tentang kehidupan. 

Kendatipun dalam mendidik ia terbilang keras dalam menegakkan disiplin, namun hati beliau sangat baik. Beliau selalu berharap kehidupan anak-anaknya kelak lebih baik daripada kehidupan kami saat itu.

Pendidikan ayah adalah Sekolah Rakyat (SR), itupun tidak tamat. Akantetapi, harapan beliau kepada anak-anaknya di bidang pendidikan sangatlah besar. Pada suatu malam usai makan, kami diberi pitutur yang tak pernah kami lupakan hingga kini. "Bape sube belog. Pang sing pianak Bape nurasin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun