Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/312296555403430022/
Kompas, Sabtu, 21 Desember 2020, halaman 9 mengabarkan berita duka. Judulnya: Sastrawan Sunaryono Basuki Berpulang. Sastrawan Sunaryono Basuki Koesnosoebroto (78) yang biasa dipanggil dengan sebutan meninggal di rumah anak keduanya, Adhi Helianto Pirngadi, di Kutuh, Kabupaten Badung, Bali, Jumat, 20/12/2019, pukul 12.30 Wita.
Pak Bas dikenal sebagai sastrawan dengan banyak karya. Ia penulis puisi, cerpen, dan novel. Juga, menulis Opini. Untuk menyebut beberapa karyanya, antara lain "Siti Nurjanah" yang diterbitkan Balai Pustaka, "Topeng Jero Ketut" yang diterbitkan Pustaka Larasan, dan "Maut di Pantai Lovina" yang diterbitkan Gramedia.
Pak Sunaryono Basuki adalah guru besar emeritus pada Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Kerap beliau membagikan ilmu menulis satranya tak hanya kepada para mahasiswa, bahkan kepada siapa pun yang berminat.
Ngobrol tentang Tulis-Menulis
Saya sendiri sering bertandang ke rumah beliau di Singaraja untuk sekadar ngobrol tentang dunia sastra dan tulis-menulis yang beliau tekuni. Setiap kali ke situ, kami biasanya berbincang-bincang di ruang tamu. Di dalam almari di ruang tamu berderet rapi sejumlah hasil karyanya. Beberapa novel ada di situ. Saya diperkenankan melihat-lihat koleksi bukunya. Di samping menulis buku-buku novel dan karya sastra lain, Pak Bas juga menulis Opini. Setahu saya artikel beliau sering dimuat di koran Kompas cetak beberapa tahun yang lalu.
Saya memandang Pak Bas sebagai kawan sekaligus guru menulis. Betapa tidak. Kendati pun umur kami terpaut relatif jauh, tapi kalau sedang asyik ngobrol, kami serasa seperti kawan saja. Ketika ngobrol, beliau biasanya duduk di kursi dekat pintu masuk dan saya duduk di depan sisi kanan beliau.
Banyak sekali pengalaman dan ilmu yang Pak Bas berikan. Hal itu tercurah setiap kali kami terlibat asyik dalam obrolan. Saya pun lebih banyak mengambil posisi sebagai pendengar yang baik sambil sesekali mengajukan sejumlah pertanyaan. Kelihatan sekali Pak Bas memiliki pengalaman luas dan perjalanan panjang di bidang karang-mengarang dan tidak pelit dengan ilmu.
Ide-ide Datang dari Semesta
Pada suatu ketika kami membahas tentang sastra. Dalam hal mengarang, rupanya Pak Bas merasa hanyalah tukang ketik. Tukang ketik? Lalu, siapa pemberi idenya? "Saya merasa menjadi tukang ketik, tidak lebih. Ide-ide datang begitu saja, dari semesta. Tugas saya hanyalah menuangkan ke mesin ketik atau komputer, hanya sebagai penyalur," katanya. Â
"Pernah saya buat alur cerita dengan peran tertentu pada setiap tokohnya. Saya buat kerangka seperti itu. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Tokoh yang saya persiapkan berperan jahat, ternyata menolak. Ia hanya mau menjadi tokoh yang memerankan kebaikan. Demikian pula sebaliknya, tokoh yang saya setting berperan baik, ternyata akhirnya jadi tokoh yang berperangai buruk," tutur Pak Bas sambil mempersilakan saya menyeruput teh yang disediakan istrinya yang juga seorang pendidik.