Ketika kekuasaan atau jabatan dipegang yang di dalamnya menyertakan peluang menyalahgunakannya, bukan mustahil sifat rakus itu muncul ke permukaan jika tak ada usaha untuk mengendalikannya. Kalau dibiarkan berkembang, maka sifat tersebut akan semakin mewujud dan merajalela ke dalam beragam bentuk tindakan korupsi.
Kedua, kelemahan pengawasan. Pengawasan itu ada dua, internal dan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan di dalam institusi itu sendiri.Â
Pengawasan internal ini dimaksudkan terutama untuk mendeteksi kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan sejak dini sehingga tidak berkembang lebih jauh.
Selanjutnya, pengawasan eksternal adalah pengawasan dari lembaga pengawas/pemeriksa yang berada di luar institusi yang diawasi yang bersifat independen, seperti KPK, BKP, BPKP, dan lainnya.Â
Di samping itu, ada juga kontrol dari media, NGO, dan sebagainya. Pengawasan internal dan internal inilah yang diharapkan untuk mencegah dan/atau memerangi tindakan korupsi.
Ketiga, kelemahan sistem. Sistem yang dimaksudkan di sini lebih mengarah kepada manajemen dan tata kelola pemerintahan dan pelayanan yang masih memberikan peluang aparat untuk melanggar.Â
Dalam sebuah sistem yang sifatnya masih manual dan mengutamakan layanan tatap muka, peluang untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang atau jabatan cenderung tetap terjadi.
Sehubungan dengan itu, di lingkungan pemerintahan kini terus dipacu pelaksanaan apa yang dikenal dengan sebutan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Sistem elektronik yang diterapkan antara lain e-budgeting, e-planning, dan e-procurement.Â
Dengan pemanfaatan sistem elektronik secara terintegrasi, diharapkan akan memperkecil peluang terjadinya korupsi dengan segala bentuknya.Â
Dengan SPBE, pemerintah didorong untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat secara cepat, efisien, transparan, dan akuntabel.
Keempat, ongkos politik yang besar. Hal ini sudah terjadi pada sejumlah kepala daerah yang kemudian terbukti terlibat kasus korupsi.Â