Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Tidak Suka Membaca Buku, Benarkah?

15 November 2019   20:05 Diperbarui: 30 Maret 2020   17:43 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/303289356153829437/

Baru saja saya membaca artikel seorang kawan, Dr. I Wayan Artika, M.Hum --  dosen di sebuah perguruan tinggi negeri ini,  di sebuah media cetak terbitan daerah. Dalam artikel tersebut, ia menulis bahwa guru ditunjuk untuk menjadi penggerak dan penjaga gawang Gerakan Literasi Sekolah (GLS). 

Gerakan tersebut ditujukan kepada para siswa, yang dimaksudkan untuk meningkatkan literasi mereka dari waktu ke waktu. Siswalah yang menjadi sasaran literasi:  agar mereka lebih rajin lagi membaca buku, karena buku merupakan sumber ilmu pengetahuan.

Guru Tak Suka Membaca?

Akan tetapi, Artika menyatakan bahwa guru sendiri belum semua terjamah literasi. Banyak guru yang tidak membaca. Banyak guru yang tidak peduli dengan buku, apalagi membeli buku secara kontinyu. Banyak guru yang tak memiliki minat baca. Banyak guru yang emoh membaca buku.

Nah kalau demikian keadaannya, bagaimana gerakan literasi yang menyasar para siswa didik itu bisa berhasil, sementara gurunya sendiri tak suka membaca dan tidak peduli sama sekali terhadap buku? Paling-paling guru seperti itu akan bilang kepada muridnya di depan kelas begini: "Anak-anak, sekarang saatnya ke ruang perpustakaan. 

Ayo membaca, karena dengan membaca kalian akan mendapat banyak ilmu pengetahuan." Begitu selesai ia berbicara, ia langsung ngeloyor pergi dari ruang kelas, bukan bersama anak-anak ke ruang perpustakaan dan membaca.

Keteladanan Itu Penting

Untuk menjadi teladan dalam hal membaca buku, bagaimana bisa? Ia sendiri tak suka membaca, tidaklah mungkin baginya untuk menjadi panutan dalam gerakan literasi. Keteladanan dalam konteks ini memang mutlak perlu. Tidak bisa tidak. 

Para siswa akan lebih melihat dan mengikuti perilaku para guru daripada mendengar dan mengikuti kata-katanya. Istilah lainnya: "Tindakan lebih nyaring bunyinya daripada kata-kata." Jadi, akan menjadi persoalan pelik bagi guru untuk membudayakan literasi jika ia sendiri tidak mampu menjadi teladan dalam hal membaca buku.

Fenomena ini penulis pernah saksikan sendiri. Seorang guru sama sekali tidak suka membaca. Ia menggunakan textbook hanya dua buku bacaan saja, dari tahun ke tahun. Yang dia pedomani hanya dua buku itu selama berpuluh-puluh tahun menjadi guru. 

Saya heran, bagaimana seorang guru bisa seperti itu? Akan seperti apa siswa didiknya, jika gurunya sendiri sama sekali tidak suka memperluas pengetahuan dengan rajin membaca beragam buku?  Dapat dipastikan guru seperti ini akan kalah update pengetahuannya dibanding muridnya yang mungkin ada yang rajin menambah pengetahuan. Menyedihkan sekali melihat hal itu, kendati pun penulis tetap yakin masih banyak guru yang rajin membaca buku.

Membaca 2-3 Buku Dalam Sebulan

Guru yang baik seharusnya menjadikan kegiatan literasi itu sebagai kegiatan rutin dan berkesinambungan. Tidak hanya saat tertentu saja, tidak pula untuk seremonial belaka. 

Guru seyogianya membaca buku secara terus-menerus secara konsisten. Ia bisa menargetkan membaca minimal  2-3 eksemplar buku, misalnya, dalam sebulan. Belum termasuk membaca bahan bacaan lain, baik dari media cetak lain maupun internet.

Pembacaan ini, secara akumulatif, akan memperkaya khasanah pengetahuan para guru. Dengan kekayaan pengetahuan itu, maka bisa mentransfer ilmu yang lebih berkualitas dan lebih efektif kepada siswa didiknya. Dengan pengetahuannya yang dalam dan luas, niscaya ia bisa menjaga martabat dan wibawa sebagai seorang guru, terutama di hadapan para siswanya sendiri.

Kualitas Guru dan Siswa

Guru yang berkualitas cenderung melahirkan anak didik yang berkualitas, demikian pula sebaliknya. Jika guru tak memiliki sesuatu, lalu apa yang akan dibagikan kepada siswa didiknya? Maka, tak ada jalan lain selain meningkatkan literasi para guru demi membangun kualitas guru yang lebih baik, dan ikutannya, demi membangun kualitas generasi penerus bangsa Indonesia menjadi lebih baik pula.

Jadi, Gerakan Literasi Sekolah (GLS), seyogianya tak hanya menyasar siswa, bahkan terutama para guru. Sebab, di tangan gurulah, kualitas siswa bergantung. Jayalah guru-guru Indonesia.

( I Ketut Suweca, 15 November 2019).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun