Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/303289356153829437/
Baru saja saya membaca artikel seorang kawan, Dr. I Wayan Artika, M.Hum -- Â dosen di sebuah perguruan tinggi negeri ini, Â di sebuah media cetak terbitan daerah. Dalam artikel tersebut, ia menulis bahwa guru ditunjuk untuk menjadi penggerak dan penjaga gawang Gerakan Literasi Sekolah (GLS).Â
Gerakan tersebut ditujukan kepada para siswa, yang dimaksudkan untuk meningkatkan literasi mereka dari waktu ke waktu. Siswalah yang menjadi sasaran literasi: Â agar mereka lebih rajin lagi membaca buku, karena buku merupakan sumber ilmu pengetahuan.
Guru Tak Suka Membaca?
Akan tetapi, Artika menyatakan bahwa guru sendiri belum semua terjamah literasi. Banyak guru yang tidak membaca. Banyak guru yang tidak peduli dengan buku, apalagi membeli buku secara kontinyu. Banyak guru yang tak memiliki minat baca. Banyak guru yang emoh membaca buku.
Nah kalau demikian keadaannya, bagaimana gerakan literasi yang menyasar para siswa didik itu bisa berhasil, sementara gurunya sendiri tak suka membaca dan tidak peduli sama sekali terhadap buku? Paling-paling guru seperti itu akan bilang kepada muridnya di depan kelas begini: "Anak-anak, sekarang saatnya ke ruang perpustakaan.Â
Ayo membaca, karena dengan membaca kalian akan mendapat banyak ilmu pengetahuan." Begitu selesai ia berbicara, ia langsung ngeloyor pergi dari ruang kelas, bukan bersama anak-anak ke ruang perpustakaan dan membaca.
Keteladanan Itu Penting
Untuk menjadi teladan dalam hal membaca buku, bagaimana bisa? Ia sendiri tak suka membaca, tidaklah mungkin baginya untuk menjadi panutan dalam gerakan literasi. Keteladanan dalam konteks ini memang mutlak perlu. Tidak bisa tidak.Â
Para siswa akan lebih melihat dan mengikuti perilaku para guru daripada mendengar dan mengikuti kata-katanya. Istilah lainnya: "Tindakan lebih nyaring bunyinya daripada kata-kata." Jadi, akan menjadi persoalan pelik bagi guru untuk membudayakan literasi jika ia sendiri tidak mampu menjadi teladan dalam hal membaca buku.
Fenomena ini penulis pernah saksikan sendiri. Seorang guru sama sekali tidak suka membaca. Ia menggunakan textbook hanya dua buku bacaan saja, dari tahun ke tahun. Yang dia pedomani hanya dua buku itu selama berpuluh-puluh tahun menjadi guru.Â