Buku bertajuk Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, sungguh sangat menarik dan menambah wawasan. Sampai dua kali saya baca buku ini, bahkan membaca yang kedua kalinya dengan cermat dan pelan-pelan.Â
Buku bergenre biografi karya St Sularto, terbitan tahun 2011 ini, pantas diacungi jempol. Bukan lantaran ketebalannya yang 659 halaman, melainkan karena isinya yang benar-benar bernas.Â
Jika Anda membaca buku ini, Anda perlu bersabar, karena membacanya memerlukan waktu berhari-hari, bahkan mungkin sampai satu bulan. Sayang sekali kalau kita sekadar membacanya sepntas, tanpa menyimak detailnya yang bermanfaat dan mengispirasi.
Buku ini rupanya tak melulu tentang Jacob Oetama, pendiri Kompas dan Intisari serta perjalanan hidupnya. Lebih dari itu, buku ini pun memberikan kita referensi yang lumayan mendalam tentang kerja pers, leadership, dan teori komunikasi dan informasi.Â
Buku yang diterbitkan  oleh Penerbit Buku Kompas untuk memperingati 80 tahun usia 'bos' Kompas ini, menyajikan wawasan yang komplit bagi pembacanya.Â
Karena tokohnya adalah Jacob Oetama, mari kita lihat dan prioritaskan apa yang menjadi pemikiran dan pengalamannya sebagaimana tertuang di dalam buku ini. Â
Tentang Kerja All Out
Kita mulai bagaimana sang tokoh memandang kerja dan apa pula prinsip beliau. Sebagaimana dipaparkan di dalam buku ini, Jakob Oetama sangat menghargai makna kerja keras. Perusahaan yang dirintisnya bersama P.K. Ojong juga berkembang berkat kerja keras. Jakob menganut prinsip bekerja keras, tidak setengah-setengah, selalu all out.Â
Selain kerja keras, prinsip lainnya adalah kerja bersama, sinergitas. Kerja keras dan sinergitas adalah dua kata kunci yang dipegangnya erat-erat untuk berhasil dalam usaha.Â
Kata Jakob, berkat kerja keras itu pula kerja menjadi bermakna. Tidak saja mendatangkan penghasilan, bahkan juga membuat hidup menjadi lebih bermakna.Â
Dikatakan,"Betapa nestapa orang yang tidak bekerja, tidak hanya tidak mempunyai penghasilan, tetapi juga tidak ada harga diri. Hidupnya kosong. Yang sudah bekerja pun, tetapi tidak melaksanakannya dengan all out, sungguh disayangkan. Orang itu menyia-nyiakan kehidupan."
Tentang Kepemimpinan Ngemong
Jakob Oetama menerapkan pola kepemimpinan yang disesuaikan dengan budaya Jawa, Â yakni ngemong. Kata ngemong iini singkat sederhana, tetap sarat makna. Inti dari manajemen dan kepemimpinan itu adalah ngemong.Â
Ngemong itu artinya tahu diri bahwa manusia bisa merasa tidak mampu melakukan segala-galanya sehingga memilih mengorganisasikan keahlian, kelebihan dipadukan dengan kelebihan orang lain dalam sebuah usaha bersama.
Kata Jakob, "Saya tidak tahu bisnis, tetapi saya tahu diri kalau saya tak tahu bisnis. Hanya karena otak saya dikaruniai kecerdasan lumayan, dengan kemauan belajar, saya bisa menangkap apa yang diperlukan. Katakan saja, orang yang pegang bisnis, ya, harus tahu bisnis.Â
Yang pegang uang bukan hanya harus jujur dan bisa menghitung uang, tapi harus juga bisa tutup mulut, etika profesi keuangan yang sangat diperlukan. Modal lainnya, saya dianugerahi talenta bisa ngemong."
Tentang Paperless World
Seperti ditulis pada halaman 204 buku ini, ada sebuah pertanyaan yang muncul dan menghantui media cetak: benarkah akan datang paperlees world. Benarkah media cetak hidupnya tinggal menghitung hari?Â
Selama ini, sejarah menunjukkan, tampilnya medium baru tidak menggantikan medium lama. Radio tidak menggantikan surat kabar, demikian pula film.
Dalam zaman cyber space, demikian ditulis dalam buku ini, apakah tidak lagi berlaku pola lama, yakni terjadi saling mengisi antara media lama dan media baru?Â
Apakah media baru akan menggantikan media lama serta mematikan media cetak? Inilah sederet pertanyaan di kalangan pengelola dan pengamat media.
"Yang jelas, media cetak harus memperbaharui dan menyegarkan diri, melakukan adaptasi. Besarlah dampak media elektronik terhadap media cetak. Media baru tidak dihambat oleh time and space, sehingga penyebaran dan kehadirannya serentak ke mana-mana dan di mana-mana," tulis St Sularto mendeskripsikan pemikiran Jakob Oetama.
Lalu, apa strategi yang dilakukan Kompas? Melihat perubahan cara orang memperoleh informasi mendorong Kompas melakukan "revolusi" dalam dirinya.Â
Sejak tahun 2010, sebagaimana ditulis dalam buku ini, Kompas menerapkan Strategi 3 M atau Triple M, yakni multimedia, multichannel, dan multiplatform.Â
Intinya, konten Kompas harus bisa dibaca melalui segala wahana (kertas, komputer, televisi, mobilephone, dan lain-lain). Bentuk konten yang disajikan melalui berbagai jenis media itu tidak hanya berupa teks dan foto, bahkan juga dalam bentuk grafis, video, atau gabungan dari semuanya.
Semoga kita bisa belajar hal dari Jakob Oetama, terutama sifat ngemong, jurus agar tetap eksis dalam usaha sejalan dengan kemajuan teknologi, dan prinsip kerja keras serta pentingnya sinergitas untuk mencapai kemajuan bersama.
( I Ketut Suweca, 1 April 2019). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H