Indonesia telah kehilangan seorang arsitek ekonomi. Beliau adalah Prof. Dr. Widjojo Nitisastro. Widjojo meninggal pada hari Jumat, 9 Maret 2012 dini hari di RS Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pria kelahiran 23 September 1927 ini mendapatkan gelar sarjananya dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), dengan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Widjojo kemudian mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di University of Berkeley atas beasiswa Ford Fondation. Ia meraih gelar Philosophie Doctor dari universitas tersebut pada tahun 1961. Dalam kariernya, ia pernah menduduki sejumlah jabatan penting, diantaranya sebagai Ketua Bappenas (1967-1971) dan Menteri Ekonomi dan Industri Kabinet Pembangunan II dan III (1973-1978 dan 1978-1983).
Kombinasi Tiga Hal
Ekonom M Chatib Basri berpendapat, kebijakan Widjojo adalah resep dari kombinasi tiga hal, yakni, pertama, pembangunan sektor pertanian yang kemudian dilanjutkan dengan penciptaan lapangan kerja di sektor industri. Kedua, akses kepada penduduk miskin dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang dikenal dengan sekolah dasar instruksi presiden (inpres) dan inpres kesehatan. Ketiga, mengendalikan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana. "Kombinasi ketiga hal inilah yang mendorong ekonomi Indonesia tumbuh di atas 7 persen dan menekan kemiskinan," M Chatib Basri sebagaimana dikutip Kompas (10/3).
Ekonom Faisal Basri menilai, pertama, Widjojo merupakan peletak dasar-dasar perencanaan pembangunan nasional modern. Ia sadar sekali sejak awal bahwa pertumbuhan penduduk harus dikendalikan agar beban peningkatan produksi pangan dan kebutuhan pokok rakyat tidak terlalu berat. Kedua, Widjojo sangat sadar politik dan ekonomi politik. Ia tahu bagaimana teknokrasi bisa berperan optimal di tengah konstelasi politik yang ada.
Terhindar dari Kutukan
Direktur Bank Dunia, Sri Mulyani, mengatakan, sumbangan terbesar Widjojo adalah bagaimana mengembalikan Indonesia kepada situasi yang stabil dan kokoh kembali setelah mengalami kondisi kerusakan ekonomi yang sangat parah pada akhir 1960-an akibat inflasi yang sangat tinggi sebagai akibat peredaran uang oleh bank sentral yang tidak terkendali untuk membiayai defisit APBN.
Dikatakan, Widjojo membangun kembali perekonomian Indonesia dengan fokus pada pengembalian sektor produksi pangan atau pertanian Indonesia dengan fokus pada pengembalian sektor produksi pangan atau pertanian untuk tumbuh dan mampu memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat dengan membangun infrastruktur pertanian dan program-program yang membantu petani mengalami kenaikan produktivitas tinggi melalui bantuan bibit, pupuk, dan intensifikasi serta bimbingan teknis pertanian.
Ditambahkan oleh Sri Mulyani, Indonesia pada zaman Widjojo menjadi salah satu dari sedikit contoh klasik di dunia sebagai negara yang mampu memanfaatkan uang minyak untuk memerangi kemiskinan sehingga terhindar dari resource curse atau kutukan karena kekayaan sumber daya alam. "Banyak negara yang kaya sumber daya alam justru mengalami kerusakan ekonomi, kemiskinan melonjak, korupsi, dan bahkan terjadi peperangan karena tidak mampu mengelola dan memanfaatkan penerimaan negara dari sumber daya alam dengan baik dan bijaksana," ujar Sri Mulyani seperti dimuat di dalam situs finance detik. com.
Dalam cacatan Kompas (10/3), Prof. Widjojo berpandangan bahwa pembangunan ekonomi tak sekadar mengejar laju pertumbuhan ekonomi, bahkan juga harus berangkat dari persoalan manusia. Pertumbuhan ekonomi tidak akan ada artinya tanpa pembangunan manusia melalui pengendalian populasi serta berbagai program pembangunan kesehatan dan pendidikan.
Disebutkan pula bahwa pada usia 36 tahun, Prof. Widjojo menyampaikan pidato tentang Analisa Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan yang menekankan pentingnya analisis ekonomi dan pembangunan. Pidato ini sangat kontroversial karena pada saat itu politik menjadi panglima, sedangkan ekonomi diremehkan karena ilmu ekonomi dianggap telah memerosotkan kehidupan masyarakat.
Pemikir yang Mendalam
Menurut Prof. Dr. Ali Wardana, pemikiran Pak Widjojo sangat mendalam. "Dia selalu memikirkan suatu masalah dengan masak-masak sebelum dituangkan ke dalam tulisan, meskipun diselesaikan sampai menit-menit terakhir. Pola itu tak hanya terjadi saat Prof. Widjojo masih mahasiswa. Saat menjadi kepala Bappenas pun demikian," katanya sebagaimana ditulis vivanews. com.
Senada dengan itu, mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menilai Widjojo sebagai figur yang tetap memiliki ketenangan di tengah situasi yang tertekan. "Pemikirannya sangat baik dan tenang menghadapi situasi. Karena itu, stabilitas ekonomi saat itu ada kemajuan," tambahnya.
Sementara itu, Kepala Bappenas, Ginandjar Kartasasmita mengatakan, sosok Widjojo merupakan seorang yang berkomitmen tinggi pada tugas untuk negara. Hal ini terlihat pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998. Kala itu, Widjojo yang menjabat sebagai penasihat ekonomi, menghabiskan waktunya di kantor, dan rela tidur di kursi kerjanya. Widjojo juga dikenal sebagai pencetus trilogi pembangunan yang diusung pemerintahan era Soeharto. Trilogi pembangunan adalah konsep pembangunan yang memperhatikan aspek pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas.
Prof. Widjojo meninggalkan kita dengan pemikiran-pemikiran ekonomi sebagaimana kesan orang yang cukup dekat dengannya. Untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa dan seperti apa pemikirannya, dapat dibaca di dalam buku Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro (2007) yang mewakili kesan 55 koleganya. Di samping itu, ada buku Pengalaman Pembangunan Indonesia. Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro (2010) yang meliputi 30 tulisan.
Kini arsitek ekonomi Indonesia yang berusia 84 tahun itu telah tiada. Beliau meninggalkan banyak pelajaran untuk generasi kini dan mendatang. Terima kasih atas bakti Bapak untuk bangsa dan negara ini. Selamat jalan Profesor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H