Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sumpah Itu Demi Rakyat

28 Oktober 2011   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemberitaan media massa Indonesia belakangan ini dipenuhi laporan mengenai berbagai kasus dan peristiwa yang memprihatinkan. Diantaranya berita tentang teroris, tawuran mahasiswa, juga tentang korupsi. Tiada habis-habisnya laporan semacam itu disajikan ke hadapan pembaca, baik di televisi maupun koran. Yang paling merisaukan hati adalah kasus yang disebut oleh Presiden sebagai perampokan uang negara alias korupsi. Korupsi rupanya sudah merasuki hampir seluruh institusi pemerintahan. Tidak hanya eksekutif, juga legislatif dan yudikatif. Tak hanya di pusat, bahkan juga di daerah-daerah. Entah sudah berapa pejabat pemerintahan, termasuk puluhan gubernur dan bupati/walikota yang terpaksa berurusan dengan masalah hukum karena penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Momentum Refleksi

Kini, saat memperingati HUT ke-83 Sumpah Pemuda, ada baiknya dilakukan refleksi dan mawas diri terhadap apa yang sudah terjadi di belakang sekaligus menyiapkan diri apa yang akan diperbuat pada masa datang. Momentum memperingati HUT Sumpah Pemuda ini bagus sekali dipakai untuk memperkuat komitmen bagi setiap pemegang kekuasaan atau pengampu kewenangan di negeri subur tapi belum makmur ini untuk kembali ke fitrah: bersumpah bekerja demi kepentingan rakyat!

Bersumpah untuk bekerja demi rakyat adalah sumpah untuk hanya berjuang dan bekerja untuk kepentingan mereka yang memiliki kedaulatan, yakni rakyat. Kalau pada masa lalu pemuda berjuang dan bersumpah demi persatuan dan kesatuan nusantara, kemudian setelah kemerdekaan diproklamasikan para pemuda berjuang untuk membela kemerdekaan, maka sekarang saatnya dalam era pembangunan ini dilakukan pembelaan terhadap kepentingan rakyat Indonesia. Bersumpah untuk bekerja demi kepentingan rakyat.

Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang memerintah melalui para wakil-wakil yang bisa dipercaya. Maka, wajib hukumnya yang disebut para wakil rakyat di segala institusi negara untuk melayani rakyat yang berdaulat. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sama sekali bukan pemerintahan untuk kepentingan penguasa. Kalau rakyat sudah tidak bisa percaya lagi dengan wakilnya di pemerintahan, maka rakyat berhak menarik kedaulatan yang diberikannya. Rakyat berhak menuntut bahkan memaksanya mundur dari jabatan.

Bersumpah bekerja demi rakyat diperuntukkan bagi siapa saja yang berstatus memiliki kekuasaan dan kewenangan dan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat Indonesia, di lembaga mana pun bertugas. Rakyat adalah mereka yang harus diperjuangkan kehidupannya. Orientasi ke rakyat adalah sebuah keharusan, karena sejatinya untuk merekalah negara ini didirikan, karena rakyatlah sesungguhnya penguasa negeri ini.

Demi Rakyat, Seperti Apa Wujudnya?

Dalam konteks sumpah bekerja demi rakyat, tentu mesti ada wujud realnya. Tiga diantaranya yang utama adalah dengan melihat aspek ekonomi kerakyatan, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat. Nah, pertanyaan awalnya adalah bagaimana dengan ekonomi rakyat, adakah kemajuan yang berhasil dicapai? Adakah pendapatan/penghasilan rakyat kian meningkat dari waktu ke waktu? Tak hanya meningkat dalam arti nominalnya, melainkan meningkat dalam daya beli, jauh di atas perkembangan inflasi.

Pendapatan per kapita tak bisa dipercaya untuk melihat potret kesejahteraan rakyat kecil. Tatkala kapitalisme merajalela, dan rakyat kecil kian tersisih dan tertindas, maka hitungan pendapatan per kapita lebih banyak merupakan share dari kaum kapitalis yang menjadikankan pendapatan per kapita tinggi. Pendapatan per kapita sama sekali tak mencerminkan pemerataan pendapatan, terutama pendapatan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih berekonomi kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, pemerataan pendapatan dengan melaksanakan akselerasi pembangunan ekonomi kreatif di desa-desa adalah salah satu jawabannya.

Ekonomi kerakyatan adalah sesuatu yang mutlak. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengamanatkan hal itu. The founding father, Bung Hatta, juga mewariskan pemikiran tentang ekonomi kerakyatan. Para ilmuwan pun menyambutnya dalam kajian ilmiah di berbagai forum, seperti Prof. Mubyarto, dan kawan-kawan. Bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan, seperti koperasi yang pada awalnya dicetuskan Bung Hatta, hendaknya terus dikembangkan. Demikian pula pasar tradisional mesti mendapatkan perhatian yang lebih baik lagi. Jangan sampai sumber kehidupan rakyat itu kolaps hanya karena kurangnya perhatian pemerintah, sementara para pemodal besar dengan leluasa datang dan menyaingi mereka dengan berbagai bentuk pasar modern. Laksana buaya dan kadal, mereka bersaing berhadap-hadapan (head to head) dalam permainan yang sama sekali tak seimbang.Dalam kondisi yang tak seimbang seperti ini, bagaimana sebuah ekonomi kerakyatan seperti pasar tradisional itu bisa eksis? Pemegang kekuasaan tak bisa menunggu atau mengandalkan invisible hand sebagai yang pernah dimodelkan oleh Adam Smith, yang kemudian ternyata terbukti tak berhasil dengan terjadinya Depresi Besar (Great Depression) yang melanda pelbagai negara pada masa itu (1930-an). Peran pemerintah pada tingkat tertentu sangat diperlukan.

Bagaimana dengan pendidikan warga negara? Sudahkah semuanya mendapatkan pendidikan dasar? Diketahui bahwa sumber daya manusia adalah kunci bagi keberhasilan percepatan pembangunan. China sudah membuktikan itu. Negeri itu belakangan ini mengalami kemajuan pesat karena mereka menyadari benar betapa pentingnya investasi di bidang pendidikan bagi warga negaranya, sejak belasan tahun yang lalu. Jepang juga melakukannya jauh lebih dulu, bahkan segera setelah perang dunia kedua. Apa yang telah dicapai oleh kedua negara Asia itu, menjadi contoh bagi bangsa Indonesia untuk segera berbenah diri, terutama memperbaiki sumber daya manusia Indonesia agar kualitasnya semakin ditingkatkan. Jika terus-menerus terlambat, maka Indonesia akan tertinggal makin jauh di belakang.

Para pendidik dan peneliti memerlukan perhatian serius. Merekalah yang bertugas memberi corak wajah generasi bangsa ini ke depan. Seperti apa wajah generasi muda Indonesia masa depan sangat ditentukan oleh kaum pendidik. Demikian juga, kemajuan-kemajuan di berbagai bidang tak lepas dari temuan-temuan inovatif para peneliti. Penelitian di negeri ini kurang mendapatkan perhatian. Penghargaan terhadap peneliti, seperti penghasilan (gaji dan tunjangan), fasilitas penelitian, dan proses pengurusan HAKI disebutkan belum memadai. Seperti diberitakan Kompas (25/10), gaji seorang guru sekolah dasar ternyata lebih besar daripada pendapatan seorang professor-peneliti! Ini sungguh mengherankan. Sementara, penghasilan para peneliti di negara-negara tetangga jauh lebih baik. "... gaji professor riset di negara tetangga bisa sekitar 90 juta per bulan, dan di Jepang Rp.600 juta-Rp.900 juta per bulan," demikian Wakil Kepala LIPI, Endang Sukara sebagaimana dikutip Kompas.

Keadaan inilah yang ditengarai telah membuat para peneliti Indonesia akhirnya memilih bekerja di luar negeri, berkarya untuk negara lain. Tidak ada yang salah dengan para peneliti itu. Hanya Indonesia sajalah yang belum bisa memberi penghargaan yang layak terhadap para peneliti walau pun nominalnya tak harus sebesar penghasilan peneliti di beberapa negara maju. Perlu disadari bahwa dengan kepandaiannya, peneliti mampu menghasilkan temuan-temuan baru atau inovasi sebagai wujud kreativitas yang luar biasa dalam bidang keilmuan. Semua ini akan sangat berguna apabila diimplementasikan dalam tataran praktis maupun dalam upaya pengembangan ilmu-ilmu dasar. Kemajuan demi kemajuan hanya dapat dicapai apabila para peneliti Indonesia berhasil mendapatkan temuan-temuan baru yang bermanfaat.

Lantas bagaimana dengan kesehatan masyarakat? Sudahkah semua kalangan mendapatkan layanan kesehatan dengan baik? Kesehatan menjadi modal yang luar biasa pentingnya bagi perkembangan anak bangsa. Segala keberhasilan apapun tak banyak artinya apabila kesehatan tak dimiliki. Arthur Schopenhauer mengatakan: "health is not everything, but without health everything is nothing." Kesehatan memang bukan segala-galanya, tapi tanpa kesehatan segalanya tiada berarti. Jadi kesehatan adalah hal pokok yang tak bisa ditinggalkan dalam pembangunan secara menyeluruh.

Kesehatan ibu dan anak adalah salah satu indikator derajat kesehatan bangsa ini. Mengapa kesehatan ibu? Karena melalui rahim para ibu Indonesia-lah terlahir anak-anak penerus bangsa. Maka, para ibulah yang mesti sehat terlebih dahulu. Mengapa anak-anak? Karena anak-anak Indonesia itulah yang akan menentukan seperti apa wajah masa depan negeri ini. Semoga kepedulian terhadap kesehatan ibu dan anak semakin baik.

Dengan sejumlah pekerjaan rumah itu semoga seluruh pihak yang bertanggung jawab sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat senantiasa eling akan tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan kehidupan bangsa ini. Berdosalah mereka yang telah menyia-nyiakan amanah yang diberikan kepadanya, jika ternyata mereka menjadi bagian dari perampok uang negara sebegaimana disebut Presiden SBY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun