Indonesia menghadapi tantangan deindustrialisasi dini, di mana kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan signifikan sebelum negara mencapai status ekonomi maju. Dalam dua dekade terakhir, kontribusi manufaktur terhadap PDB menurun tajam, dari sekitar 31,95% pada 2002 menjadi 18,52% pada triwulan kedua 2024. Ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami pergeseran dari industri lebih awal dibandingkan negara-negara maju yang umumnya sudah memiliki basis industri kuat.
Beberapa penyebab utama fenomena ini adalah kebijakan pemerintah yang belum cukup mendukung pengembangan sektor industri secara luas. Industri manufaktur Indonesia harus menghadapi persaingan ketat dari negara-negara seperti China yang secara konsisten mendapat dukungan dari pemerintahnya, baik dalam bentuk subsidi maupun investasi infrastruktur besar-besaran. Selain itu, salah kelola kebijakan menjadi tantangan tersendiri. Insentif pemerintah lebih banyak diarahkan ke sektor hilirisasi mineral, seperti nikel, meskipun sektor ini tidak sebesar sektor manufaktur dalam menyerap tenaga kerja.
Pembangunan infrastruktur juga memberi dampak yang tidak selalu menguntungkan bagi sektor industri. Proyek-proyek jalan tol yang dibangun selama pemerintahan Jokowi, misalnya, tidak semua dimanfaatkan oleh pelaku industri karena tingginya tarif. Akibatnya, banyak sektor manufaktur padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa ada sekitar 46.240 kasus PHK dalam periode Januari hingga Agustus 2024.
Pemerintah perlu merumuskan strategi reindustrialisasi yang efektif untuk mengatasi fenomena deindustrialisasi dini ini. Langkah-langkah strategis seperti optimalisasi sumber daya alam, memperkuat posisi dalam rantai pasok global agar produk lokal lebih kompetitif, dan melakukan program pelatihan ulang bagi pekerja yang terdampak PHK menjadi sangat penting. Dengan strategi ini, harapannya deindustrialisasi dini dapat dicegah, dan perekonomian nasional tetap kuat serta dinamis.Â
Beberapa studi mengidentifikasi berbagai penyebab deindustrialisasi prematur, seperti tingginya biaya logistik, ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, dan kompleksitas regulasi. Putri (2024) menekankan bahwa struktur logistik yang kurang efisien serta biaya transportasi yang tinggi menghambat daya saing produk manufaktur Indonesia. Selain itu, regulasi perizinan yang rumit memperlambat investasi baru di sektor manufaktur, sementara hilirisasi mineral belum mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Tantangan ini diperparah oleh ketergantungan pada ekspor bahan mentah yang membuat ekonomi nasional rentan terhadap fluktuasi harga global (Santoso, 2023).
Deindustrialisasi yang terjadi lebih awal dapat berdampak negatif pada ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Rodrik (2016), proses ini sebelum mencapai status negara maju dapat menghambat pertumbuhan jangka panjang karena sektor manufaktur memiliki produktivitas tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja. Penurunan kontribusi sektor ini terhadap PDB mengancam stabilitas ekonomi dan meningkatkan pengangguran di sektor padat karya seperti tekstil dan garmen.
Selain itu, deindustrialisasi yang terjadi lebih awal juga mengakibatkan penurunan daya saing di kancah global. Penelitian oleh Hausmann dan Rodrik (2003) menunjukkan bahwa keberhasilan suatu negara dalam jaringan pasokan global sangat dipengaruhi oleh dukungan kebijakan pemerintah terhadap sektor industri. Namun, di Indonesia, fokus pada pengolahan mineral, seperti nikel, sering kali mengorbankan sektor manufaktur yang lebih berfokus pada penyerapan tenaga kerja dan ekspor. Infrastruktur yang tidak mendukung industri, seperti jalan tol dengan biaya tinggi, juga menambah beban pada sektor manufaktur (Asian Development Bank, 2023).
Sehingga dapat disimpulkan dampak dari, Deindustrialisasi dini dapat menghambat kemajuan ekonomi Indonesia. Dengan menurunnya kontribusi sektor industri, daya saing produk dalam negeri juga terancam, khususnya saat bersaing dengan negara-negara seperti China yang mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk subsidi dan investasi infrastruktur. Penurunan ini tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengurangi kesempatan kerja di sektor yang padat karya seperti tekstil dan garmen, yang terlihat dari tingginya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 46.240 kasus antara Januari dan Agustus 2024.
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam kajian ini adalah:
Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena deindustrialisasi prematur di Indonesia?
Bagaimana dampak deindustrialisasi prematur terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia?
Apa kebijakan efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah deindustrialisasi prematur?
Sektor industri manufaktur merupakan motor utama pendorong ekonomi Indonesia. Namun, pertumbuhan sektor ini dalam tren melambat, bahkan sedikit jauh dibawah pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor industri pengolahan menyumbang 20,16% terhadap perekonomian nasional yang dicerminkan dari produk domestik bruto (PDB). Industri manufaktur menduduki posisi teratas dalam sumbangannya terhadap PDB.
American Chambers of Commerce (Amcham) Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB, dan sumbangannya ke PDB terus menurun. Amcham melihat Indonesia bahkan mengalami deindustrialisasi prematur. Belum semestinya Indonesia mengalami deindustrialisasi, karena Indonesia sedang dalam fase mengembangkan sektor tersebut, terutama industri pengolahan sumber daya alam. Namun Indonesia justru seolah meninggalkan pembangunan industri dimana Indonesia meninggalkan pembangunan sektor industri karena terlena oleh buaian harga komoditas.
Deindustrialisasi prematur di Indonesia memberikan dampak yang signifikan dan rumit terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini menyebabkan penurunan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Sektor industri yang sebelumnya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi kini semakin berkurang kontribusinya, sehingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tidak berjalan optimal. Menurut laporan dari INDEF, kontribusi sektor industri pengolahan menurun dari 31,95% pada tahun 2002 menjadi hanya 18,52% pada triwulan kedua tahun 2024. Dampak selanjutnya terlihat pada penciptaan lapangan kerja. Penurunan sektor manufaktur menyebabkan berkurangnya jumlah pekerja di bidang ini. Data menunjukkan bahwa kontribusi pekerja di industri pengolahan turun sebesar 3,47% dalam lima tahun terakhir, dari 2018 hingga 2022. Di sisi lain, sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 1,24%, sementara sektor perdagangan justru meningkat sebesar 4,19%. Hal ini berakibat pada semakin sedikitnya tenaga kerja di sektor industri, yang mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan yang stabil dan bergaji memadai. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga terkena dampak negatif akibat deindustrialisasi prematur. Ketika industri manufaktur yang dulunya menjadi sumber utama pendapatan masyarakat semakin lemah, akses masyarakat terhadap pekerjaan yang menghasilkan gaji tinggi dan stabilitas finansial pun berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial, karena banyak individu tidak memiliki alternatif pekerjaan yang setara dengan yang ditawarkan oleh sektor industri yang menurun.
Selain itu, Amcham mencatat ada faktor-faktor lain yang berperan dalam deindustrialisasi prematur ini, seperti biaya logistik yang tinggi dan regulasi yang rumit. Biaya transportasi dan distribusi barang yang mahal membuat produk Indonesia kurang bersaing di pasar global. Selain itu, peraturan perizinan yang sulit dimengerti menghalangi investasi baru dalam sektor industri manufaktur. Infrastruktur yang belum memadai dan kurangnya dukungan pemerintah untuk industri manufaktur padat karya semakin memperlemah posisi industri nasional. Serta produktivitas pekerja yang menurun meski upah terus naik. Di tingkat global, banyak negara berkembang mengalami fenomena serupa, termasuk China. Namun, bagi Indonesia, situasi ini lebih parah karena dianggap sebagai deindustrialisasi prematur yang tidak terduga. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan sosial ekonomi dan mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan upaya dalam memperkuat industri manufaktur domestik, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta memperbaiki infrastruktur dan regulasi agar dapat mengatasi masalah ini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara keseluruhan, deindustrialisasi prematur di Indonesia bukan hanya sekadar penurunan dalam nilai tambah ekonomi, tetapi juga berdampak luas pada penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.Â
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan kebijakan yang menyeluruh dan terintegrasi guna memperkuat sektor manufaktur, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta memperbaiki infrastruktur dan regulasi demi menciptakan iklim investasi yang lebih baik mulai dari penguatan sektor industri yang menjadi prioritas utama yang dapat memperketat regulasi impor untuk melindungi produk lokal dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri agar lebih mampu bersaing dan berkontribusi lebih besar terhadap PDB negara. Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas seperti pelatihan dan pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan kebutuhan industri saat ini, terutama dalam menghadapi era industri 4.0. Kerja sama antara dunia pendidikan dan industri harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan yang relevan dan siap kerja. Hal ini akan membantu menciptakan tenaga kerja yang terampil dan meningkatkan produktivitas di sektor manufaktur serta melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kebijakan yang diterapkan. Hal ini bertujuan untuk menilai efektivitas program-program yang ada serta melakukan penyesuaian jika diperlukan agar kebijakan tetap relevan dengan perkembangan industri dan ekonomi global. Pemerintah dan Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyepakati 6 (enam) langkah strategis untuk memperkuat kinerja industri manufaktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, berkelanjutan, dan inklusif, yaitu:
Meningkatkan efisiensi logistik melalui pembangunan infrastruktur, seperti Pelabuhan Patimban dan pendukungnya.
Mendukung peningkatan iklim investasi melalui sistem perizinan dengan mengimplementasikan Online Single Submission (OSS) versi 1.1.
Mendukung harmonisasi regulasi dan program kebijakan untuk meningkatkan produktivitas industri, antara lain melalui penerbitan ketentuan pelaksanaan super deductible tax dan penerbitan penyempurnaan ketentuan pendukung Kendaraan Ramah Lingkungan.
Mendukung kelancaran sistem pembayaran melalui (i) perluasan kerjasama Local Currency Settlement untuk perdagangan internasional dengan dua negara mitra; (ii) perluasan kerjasama Local Currency Settlement untuk investasi (Malaysia, Thailand); serta (iii) pengembangan sistem pembayaraan melalui perluasan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan peluncuran Quick Response (QR) Code Indonesian Standard (QRIS).
Mendorong pembiayaan melalui pembiayaan yang berwawasan lingkungan (green financing) melalui pelonggaran loan to value (LTV) dan uang muka, serta pelebaran Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan perluasan cakupan komponen sumber funding.
Mendukung promosi perdagangan dan investasi industri manufaktur melalui (i) fasilitasi negosiasi untuk menjadi pemasok brand global; (ii) percepatan ratifikasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement / IA-CEPA) dan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement / IEUCEPA); (iii) pemanfaatan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Chili (Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement/ IC-CEPA); (iv) penyelenggaraan West Java Investment Summit (IRU-RIRU-GIRU); dan (v) pameran, misi dagang, serta business matching, antara lain Trade Expo Indonesia di Jakarta.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, serta Otoritas Jasa Keuangan akan melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik terhadap pelaksanaan program sinergi dalam rangka memperkuat kinerja industri manufaktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, berkelanjutan, dan inklusif yang menjadi kesepakatan bersama.
Fenomena deindustrialisasi prematur di Indonesia menjadi tantangan serius yang membutuhkan penanganan menyeluruh dan kolaborasi berbagai pihak. Sebagai motor penggerak ekonomi, sektor industri manufaktur perlu dikembalikan ke jalur pertumbuhan optimal dengan mengatasi hambatan logistik, regulasi, dan produktivitas tenaga kerja. Langkah-langkah strategis seperti penguatan industri berbasis sumber daya alam, optimalisasi rantai pasok global, pendidikan vokasi yang relevan, serta insentif bagi pelaku industri adalah beberapa langkah kunci yang harus dijalankan.
Dengan kebijakan yang tepat, disertai monitoring dan evaluasi berkala, pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan dapat mengatasi dampak negatif deindustrialisasi prematur. Tidak hanya meningkatkan kontribusi industri terhadap PDB, tetapi juga memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja yang stabil dan produktivitas ekonomi yang lebih tinggi. Upaya ini memerlukan komitmen kuat dan koordinasi berkelanjutan demi memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif bagi Indonesia di masa depan.
Santoso, A. (2024). Apa itu Deindustrialisasi dan Dampaknya terhadap Indonesia. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240717143855-92-1122308/apa-itu-deindustrialisasi-dan-dampaknya-terhadap-indonesia/amp
Setiaji, H. (2018). Indonesia Alami Deindustrialisasi Prematur. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20180205145948-4-3536/indonesia-alami-deindustrialisasi-prematur
Pasaribu, C., Sirojuzilam, S., & Syafii, M. (2024). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia. Ekonomis: Journal of Economics and Business, 8(2), 1712-1720.
Putri, A. M. (2024). Deindustrialisasi prematur: Analisis dampak dan strategi mitigasi. Jurnal Manajemen dan Ekonomi, 15(2), 78-95.
Santoso, D. (2023). Hilirisasi mineral dan deindustrialisasi di Indonesia. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 10(4), 231-249.
Abdullah, B. (2024). Penasihat Prabowo: RI Hadapi Deindustrialisasi Dini. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240925114759-4-574431/penasihat-prabowo-ri-hadapi-deindustrialisasi-diniÂ
Firdaus, A. H., & Faisal, M. (2024). Upaya Indonesia Hadapi Deindustrialisasi Dini. Media Indonesia. https://epaper.mediaindonesia.com/detail/upaya-indonesia-hadapi-deindustrialisasi-dini
Syarifah Fadilah. (2023). Apakah Indonesia Mengalami Deindustrialisasi Dini? Kompasiana.https://www.kompasiana.com/syarifahfadila/6559d53eee794a17c5306542/apakah-indonesia-mengalami-deindustrialisasi-dini
CNN Indonesia. (2024). Apa itu Deindustrialisasi dan Dampaknya terhadap Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240717143855-92-1122308/apa-itu-deindustrialisasi-dan-dampaknya-terhadap-indonesiaÂ
Penulis: Team Executive Board Department ECOFINSC FEB Undip
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H