Mohon tunggu...
ECOFINSC UNDIP
ECOFINSC UNDIP Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Study Finance FEB UNDIP

ECOFINSC FEB UNDIP adalah organisasi mahasiswa berbentuk kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian mengenai permasalahan perekonomian maupun keuangan di lingkup nasional maupun internasional. Lebih lanjut mengenai ECOFINSC dapat di akses melalui https://linktr.ee/Ecofinscfebundip

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fenomena Deindustrialisasi Prematur di Indonesia

26 November 2024   13:14 Diperbarui: 26 November 2024   13:17 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Ecofinsc

Bagaimana dampak deindustrialisasi prematur terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia?

  • Apa kebijakan efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah deindustrialisasi prematur?

  • Sektor industri manufaktur merupakan motor utama pendorong ekonomi Indonesia. Namun, pertumbuhan sektor ini dalam tren melambat, bahkan sedikit jauh dibawah pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor industri pengolahan menyumbang 20,16% terhadap perekonomian nasional yang dicerminkan dari produk domestik bruto (PDB). Industri manufaktur menduduki posisi teratas dalam sumbangannya terhadap PDB.

    American Chambers of Commerce (Amcham) Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB, dan sumbangannya ke PDB terus menurun. Amcham melihat Indonesia bahkan mengalami deindustrialisasi prematur. Belum semestinya Indonesia mengalami deindustrialisasi, karena Indonesia sedang dalam fase mengembangkan sektor tersebut, terutama industri pengolahan sumber daya alam. Namun Indonesia justru seolah meninggalkan pembangunan industri dimana Indonesia meninggalkan pembangunan sektor industri karena terlena oleh buaian harga komoditas.

    Deindustrialisasi prematur di Indonesia memberikan dampak yang signifikan dan rumit terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini menyebabkan penurunan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Sektor industri yang sebelumnya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi kini semakin berkurang kontribusinya, sehingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tidak berjalan optimal. Menurut laporan dari INDEF, kontribusi sektor industri pengolahan menurun dari 31,95% pada tahun 2002 menjadi hanya 18,52% pada triwulan kedua tahun 2024. Dampak selanjutnya terlihat pada penciptaan lapangan kerja. Penurunan sektor manufaktur menyebabkan berkurangnya jumlah pekerja di bidang ini. Data menunjukkan bahwa kontribusi pekerja di industri pengolahan turun sebesar 3,47% dalam lima tahun terakhir, dari 2018 hingga 2022. Di sisi lain, sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 1,24%, sementara sektor perdagangan justru meningkat sebesar 4,19%. Hal ini berakibat pada semakin sedikitnya tenaga kerja di sektor industri, yang mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan yang stabil dan bergaji memadai. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga terkena dampak negatif akibat deindustrialisasi prematur. Ketika industri manufaktur yang dulunya menjadi sumber utama pendapatan masyarakat semakin lemah, akses masyarakat terhadap pekerjaan yang menghasilkan gaji tinggi dan stabilitas finansial pun berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial, karena banyak individu tidak memiliki alternatif pekerjaan yang setara dengan yang ditawarkan oleh sektor industri yang menurun.

    Selain itu, Amcham mencatat ada faktor-faktor lain yang berperan dalam deindustrialisasi prematur ini, seperti biaya logistik yang tinggi dan regulasi yang rumit. Biaya transportasi dan distribusi barang yang mahal membuat produk Indonesia kurang bersaing di pasar global. Selain itu, peraturan perizinan yang sulit dimengerti menghalangi investasi baru dalam sektor industri manufaktur. Infrastruktur yang belum memadai dan kurangnya dukungan pemerintah untuk industri manufaktur padat karya semakin memperlemah posisi industri nasional. Serta produktivitas pekerja yang menurun meski upah terus naik. Di tingkat global, banyak negara berkembang mengalami fenomena serupa, termasuk China. Namun, bagi Indonesia, situasi ini lebih parah karena dianggap sebagai deindustrialisasi prematur yang tidak terduga. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan sosial ekonomi dan mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan upaya dalam memperkuat industri manufaktur domestik, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta memperbaiki infrastruktur dan regulasi agar dapat mengatasi masalah ini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara keseluruhan, deindustrialisasi prematur di Indonesia bukan hanya sekadar penurunan dalam nilai tambah ekonomi, tetapi juga berdampak luas pada penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. 

    Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan kebijakan yang menyeluruh dan terintegrasi guna memperkuat sektor manufaktur, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta memperbaiki infrastruktur dan regulasi demi menciptakan iklim investasi yang lebih baik mulai dari penguatan sektor industri yang menjadi prioritas utama yang dapat memperketat regulasi impor untuk melindungi produk lokal dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri agar lebih mampu bersaing dan berkontribusi lebih besar terhadap PDB negara. Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas seperti pelatihan dan pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan kebutuhan industri saat ini, terutama dalam menghadapi era industri 4.0. Kerja sama antara dunia pendidikan dan industri harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan yang relevan dan siap kerja. Hal ini akan membantu menciptakan tenaga kerja yang terampil dan meningkatkan produktivitas di sektor manufaktur serta melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kebijakan yang diterapkan. Hal ini bertujuan untuk menilai efektivitas program-program yang ada serta melakukan penyesuaian jika diperlukan agar kebijakan tetap relevan dengan perkembangan industri dan ekonomi global. Pemerintah dan Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyepakati 6 (enam) langkah strategis untuk memperkuat kinerja industri manufaktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, berkelanjutan, dan inklusif, yaitu:

    1. Meningkatkan efisiensi logistik melalui pembangunan infrastruktur, seperti Pelabuhan Patimban dan pendukungnya.

    2. Mendukung peningkatan iklim investasi melalui sistem perizinan dengan mengimplementasikan Online Single Submission (OSS) versi 1.1.

    3. Mendukung harmonisasi regulasi dan program kebijakan untuk meningkatkan produktivitas industri, antara lain melalui penerbitan ketentuan pelaksanaan super deductible tax dan penerbitan penyempurnaan ketentuan pendukung Kendaraan Ramah Lingkungan.

    4. Mendukung kelancaran sistem pembayaran melalui (i) perluasan kerjasama Local Currency Settlement untuk perdagangan internasional dengan dua negara mitra; (ii) perluasan kerjasama Local Currency Settlement untuk investasi (Malaysia, Thailand); serta (iii) pengembangan sistem pembayaraan melalui perluasan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan peluncuran Quick Response (QR) Code Indonesian Standard (QRIS).

    5. HALAMAN :
      1. 1
      2. 2
      3. 3
      4. 4
      Mohon tunggu...

      Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
      Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
      Beri Komentar
      Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

      Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun