Mohon tunggu...
ECOFINSC UNDIP
ECOFINSC UNDIP Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Study Finance FEB UNDIP

ECOFINSC FEB UNDIP adalah organisasi mahasiswa berbentuk kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian mengenai permasalahan perekonomian maupun keuangan di lingkup nasional maupun internasional. Lebih lanjut mengenai ECOFINSC dapat di akses melalui https://linktr.ee/Ecofinscfebundip

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak vs Utang: Dilematis Kemandirian Ekonomi Nasional dan Deadweight Loss Wajib Pajak

22 November 2021   19:11 Diperbarui: 22 November 2021   19:37 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan mengenai perekonomian sebuah negara tidak terlepas dari pajak. Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada wajib pajak yang bersifat memaksa, di mana wajib pajak tidak akan mendapatkan balas jasa secara langsung (Mangkoesoebroto, 1993). 

Pendapatan pajak akan dialihkan oleh pemerintah untuk belanja negara. Namun, dalam praktiknya besaran antara tingkat belanja negara belum tentu sesuai dengan tingkat pendapatan yang dimiliki, melainkan seluruhnya bergantung pada bentuk kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam Dornbusch (2008) kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah mengenai postur anggaran belanja dan transfer pemerintah, serta struktur perpajakan. 

Di Indonesia, isu defisit anggaran mendapatkan perhatian utama, bahkan sejak Kabinet Ampera (kabinet orde baru pertama). Perhatian ini disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi yang disebabkan oleh pembiayaan defisit anggaran dengan pencetakan uang (Susila, 2019). Defisit anggaran tersebut akan ditutup oleh pemerintah dengan utang negara (Eriyanti, 2018). Dalam Nugraha dkk. (2021), utang merupakan modal yang diberikan oleh pihak luar dan akan digunakan untuk meningkatkan modal keperluan dalam negeri.

Sepanjang tahun 2021, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberlakuan pajak di Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini digagas dengan berkaca pada kondisi perekonomian baik dari sisi masyarakat sebagai konsumen maupun para pelaku usaha. 

Sebagai contoh, sejak April 2021 terdapat kebijakan pembebasan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) bagi masyarakat yang membeli kendaraan roda empat yang terus diperpanjang hingga Desember 2021. Kebijakan PPnBM direalisasikan sebagai bentuk respon atas kondisi setahun terakhir di mana daya beli masyarakat atas mobil pribadi menurun drastis selama pandemi Covid-19. Dampak dari pemberlakuan diskon PPnBM tercermin pada peningkatan penjualan mobil pada semester pertama di 2021 ini. Mengacu pada laman Gaikindo, terjadi peningkatan penjualan kendaraan roda empat sebesar 33,5 persen menjadi 387.393 unit dari yang sebelumnya pada semester pertama di 2020 hanya 290.582 unit.

Antara pajak dan utang masing-masing memiliki sisi positif dan negatif. Perpajakan merupakan salah satu indikator kemandirian ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melakukan optimalisasi perpajakan di setiap tahunnya (Kementerian Keuangan, 2019). 

Dalam Mankiw (2014), pajak akan mengakibatkan terjadinya deadweight loss bagi pelaku ekonomi. Deadweight loss merupakan tingkat kesejahteraan yang hilang akibat pemungutan perpajakan. Pemungutan pajak akan menurunkan disposable income (pendapatan yang siap dibelanjakan) masyarakat. 

Apabila pemerintah menutup defisit anggaran dari utang, maka dalam jangka panjang timbul keharusan untuk melunasi utang beserta bunga yang ditetapkan (Mangkoesoebroto, 1993). Dampak dari pengadaan utang adalah timbulnya kekhawatiran dari berbagai pihak bahwa pemerintah tidak hanya melunasi dari nilai utang secara nominal, melainkan perlu membayar bunga utang. 

Sebagai contoh, pada saat ini BPK merasa khawatir karena utang Indonesia menembus Rp6.000 Triliun dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB serta penerimaan negara yang menimbulkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang (Rahma, 2021). Hal inilah yang menjadi dilema dalam kebijakan fiskal, antara utang negara dan pemungutan pajak demi kelancaran perekonomian dengan tingkat biaya transaksi yang rendah.

Kepala Pusat Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal mengatakan dengan memperhatikan dinamika dan dukungan ekonomi nasional, kebijakan perpajakan difokuskan pada enam aspek, yakni :

  1. memberikan insentif fiskal yang lebih tepat dan terukur
  2. memberikan kemudahan dalam prosedur kegiatan ekonomi tertentu untuk mempercepat pemulihan ekonomi
  3. pembaharuan dalam rangka menyempurnakan regulasi perpajakan
  4. memberikan insentif untuk vokasi dan litbang, dan perlindungan untuk masyarakat dan lingkungan
  5. mengoptimalisasikan penerimaan perpajakan melalui perluasan basis pajak melalui peningkatan kepatuhan sukarela, pengawasan dan penegakan hukum yang berkeadilan, serta reformasi organisasi, SDM, IT, dan basis data proses bisnis dan regulasi
  6. mengembangkan layanan kepabeanan dan cukai berbasis digital dan melakukan ekstensifikasi barang kena cukai (perluasan objek barang kena cukai).

Berdasarkan keterangan dari Badan Kebijakan Fiskal, penentuan target perpajakan di Indonesia menunjukkan adanya tren yang positif dengan rata-rata pertumbuhan selama sepuluh tahun sebesar 4,42 persen.

pajak-dan-persentase-pertumbuhan-619b885206310e6bb475bd73.jpeg
pajak-dan-persentase-pertumbuhan-619b885206310e6bb475bd73.jpeg
Pada saat yang bersamaan, nilai target utang selama sepuluh tahun menunjukkan adanya tren positif dengan rata-rata pertumbuhan selama sepuluh tahun adalah sebesar 34,09 persen. Dengan demikian, pertumbuhan utang dikatakan lebih tinggi dibandingkan nilai pertumbuhan target pajak walaupun nilai pajak lebih besar. Hal tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan defisit yang semakin tinggi. Anggaran belanja perpajakan dialokasikan menjadi empat tujuan, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan UMKM, meningkatkan iklim investasi, dan mendukung dunia bisnis (Kementerian Keuangan, 2021).

utang-dan-persentase-pertumbuhan-619b87bb06310e66677a0c32.jpeg
utang-dan-persentase-pertumbuhan-619b87bb06310e66677a0c32.jpeg
Apabila dihubungkan dengan tingkat belanja negara, sudah dipastikan bahwa tren belanja negara selama sepuluh tahun terakhir mengalami kenaikan. Bahkan berdasarkan hasil perhitungan korelasi (keeratan) ditemukan bahwa belanja dan utang negara memiliki hubungan yang searah dan signifikan pada tingkat 1% dengan tingkat keeratan sebesar 0,825, yang artinya memiliki korelasi tinggi. Apabila belanja meningkat, maka akan terdapat kecenderungan utang akan mengalami peningkatan atau sebaliknya walaupun tidak diketahui hubungan secara sebab-akibat.

korelasi-belanja-dan-utang-619b886a75ead656793afe92.jpeg
korelasi-belanja-dan-utang-619b886a75ead656793afe92.jpeg
Lalu, bagaimanakah dampaknya bagi pelaku ekonomi? Berdasarkan tinjauan terhadap teori Keynes dalam Mankiw (2014), pajak dapat menurunkan dispoasble income (pendapatan yang siap dibelanjakan) bagi wajib pajak. Hal inilah yang dinamakan deadweight loss atau kesejahteraan yang hilang. 

Pendapatan yang digunakan untuk membayar pajak bisa saja digunakan untuk kebutuhan lainnya (misal: konsumsi pangan, keperluan pendidikan, atau menabung), tetapi kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena digunakan untuk membayar pajak. Hal ini sesuai dengan kebijakan yang dilakukan pada masa pandemi Covid-19, di mana target perpajakan diturunkan sebesar 21,38 persen dalam rangka memberikan insentif perpajakan. 

Insentif tersebut diberikan karena adanya penurunan pendapatan dari wajib pajak (Kementerian Keuangan, 2021). Di sisi lain, pemerintah perlu meningkatkan nilai utang untuk menutupi defisit anggaran. Hal ini tidak terjadi pada masa pandemi saja, melainkan pada periode lainnya. Apabila target penerimaan perpajakan diturunkan, secara otomatis pemasukkan untuk keperluan belanja berkurang dan alternatif yang dilakukan adalah meningkatkan pajak.

Utang luar negeri memiliki dampak terhadap peningkatan PDB dan menurunkan jumlah penduduk miskin, tetapi nilai utang luar negeri di era pemerintahan pasca B.J. Habibie dapat dikatakan kurang baik dibandingkan era sebelumnya dan bahkan nilai utang cenderung menurunkan pendapatan per kapita sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat (Junaedi, 2018). 

Hal ini sesuai dengan penelitian Yunus dkk. (2021), bahwa utang dapat menurunkan kesejahteraan dan menghambat tumbuh kembangnya kemandirian ekonomi negara. Hal tersebut terjadi karena utang luar negeri dipengaruhi oleh hubungan secara diplomatis antara negara penerima dengan pemberi utang. Apabila ingin melakukan proyek pembangunan, maka akan timbul ketergantungan secara terus-menerus dalam pengambilan utang. Selain itu, utang dapat menimbulkan adanya intervensi dari luar dalam urusan politik dalam negeri.

Dengan melirik trade off antara utang dan pajak, manakah yang harus didahulukan? Untuk mendahulukan di antara kedua hal, perlu dilihat bagaimana asumsi dalam perekonomian pada tahun yang bersangkutan. Seringkali kita mengetahui bahwa kebijakan akan dikatakan tepat jika diterapkan di waktu yang tepat, hal ini juga berlaku pada trade off antara utang dan pajak. Sebagai contoh, selama masa pandemi Covid-19 ini banyak negara termasuk Indonesia yang memanfaatkan kebijakan utang luar negeri untuk mengatasi defisit anggaran. 

Apabila dalam perekonomian sedang mengalami ekspansi, maka pemerintah dapat meningkatkan pajak agar jumlah uang yang beredar tidak terlalu banyak. Selain itu, perekonomian yang sedang berkembang merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk memperluas dasar pengenaan pajak. Namun, apabila perekonomian mengalami kontraksi, maka langkah yang dapat dilakukan adalah menggunakan utang dalam rangka membangkitkan kembali gairah pelaku ekonomi agar perekonomian bisa berfungsi secara aktif. 

Tindakan preventif yang harus dilakukan apabila memerlukan utang dalam jumlah yang besar adalah memiliki sikap kehati-hatian. Sebagai contoh, pemerintah tidak hanya berfokus kepada pengeluaran yang bersifat konsumtif saja, tetapi juga memberikan perhatian kepada sektor produktif seperti halnya pelaku usaha. Pada akhirnya, perekonomian tidak hanya berat di salah satu sisi saja, melainkan terdapat kesesuaian antara sisi permintaan dan penawaran.

Referensi :

Dornbusch, R. (2008). Makroekonomi. Jakarta: Salemba Empat.

Eriyanti, K. (2018). Hubungan antara Utang Luar Negeri, Pengeluaran Pemerintah dan Capital Flight di Indonesia Periode 1975-2015. Skripsi S1. FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Junaedi, D. (2018). Hubungan antara Utang Luar Negeri dengan Perekonomian dan Kemiskinan : Komparasi Antarezim Pemerintahan. Simposium Nasional Keuangan Negara, 563-587.

Kementerian Keuangan. (2019). Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Dornbusch, R. (2008). Makroekonomi. Jakarta: Salemba Empat.

Eriyanti, K. (2018). Hubungan antara Utang Luar Negeri, Pengeluaran Pemerintah dan Capital Flight di Indonesia Periode 1975-2015. Skripsi S1. FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Junaedi, D. (2018). Hubungan antara Utang Luar Negeri dengan Perekonomian dan Kemiskinan : Komparasi Antarezim Pemerintahan. Simposium Nasional Keuangan Negara, 563-587.

Kementerian Keuangan. (2019). Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Kementerian Keuangan. (2021). Nota Keuangan beserta Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Mangkoesoebroto, G. (1993). Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE.

Mankiw, N. G.  (2014). Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Salemba Empat.

Mankiw, N. G.,  dkk. (2014). Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba Empat.

Rahma, A. (2021, Juni 23). Utang Tembus Rp 6.000 Triliun, BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar. Retrieved Agustus 12, 2021, from www.liputan6.com: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4589482/utang-tembus-rp-6000-triliun-bpk-khawatir-pemerintah-tak-bisa-bayar#:~:text=Dalam%20ringkasan%20eksekutif%20yang%20dirilis%2C%20BPK%20mengkhawatirkan%20utang,Debt%20Relief%20%28IDR%29%20dan%20International%20Mo

Susila, d. (2019). Membangun Ekonomi yang Mencerahkan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

 Yunus, R., & dkk. (2021). Utang Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Journal of Management, 151-161.

Penulis :

  1. Charles Nicolas Sitanggang (Akuntansi '20, Junior Staff Education Division, Academic Departement ECOFINSC 2021)
  2. Al Razi Radja Haikal (Manajemen '19, Chief Executive ECOFINSC 2021)
  3. Rafly Ramadhan (Ilmu Ekonomi '19, Head of Research Division, Academic Departement ECOFINCS 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun