Mohon tunggu...
Eci FE
Eci FE Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tips: Cara Berpikir Positif (Kronologi)

18 Desember 2016   09:47 Diperbarui: 18 Desember 2016   10:31 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah dengar ungkapan, harus sudah adil sejak dalam pikiran? Yak, saya yakin semua kita sudah tahu kalimatnya Pram ini. Tapi kali ini kita tidak bahas soal keadilan.

Dulu saya hanya tahu baik buruk itu memang sudah datang dari sononya. Dalam artian tak bisa dirubah. Seseorang yang baik sejak awal akan tetap baik selamanya, begitupun sebaliknya. Namun kemudian kehidupan perlahan menggiring saya pada pemahaman bahwa hal baik bisa berubah buruk, burukpun bisa menjadi baik, tergantung konteksnya. Dan saya pun terdampar pada pengertian bahwa baik dan buruk itu adalah hasil pilihan dari pikiran sadar, hasil keputusan.

Ketika melihat seseorang mondar-mandir di halaman penuh kerikil, cuaca panas terik, apa yang muncul di benak?

Bisa jadi ada yang menilai orang tersebut gila. Masak mau-maunya berpanas-panas di bawah cuaca terik. Kalau bukan gila, bisa jadi dia sedang galau akut.

Nah, ini sebuah pikiran yang diputuskan mengenai orang yang mondar-mandir tersebut.

Lalu ada lagi yang nyeletuk menanggapi. Oh, mungkin dia sedang mencari sesuatu yang hilang. Cincin, gelang, atau apalah githu. Gak mungkinkan dia mau berpanas-panasan kalau tak penting baginya?

Orang kedua ini memilih pendapat berbeda dari orang pertama. Ia memilih pikirannya sendiri yang kemudian melahirkan kesimpulan.

Kedua pikiran orang diatas adalah hasil keputusan. Keputusan yang diambil oleh pikiran sadar. Yang lantas menjadi cara, menjadi kebiasaannya dalam menyikapi sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Seperti yang kita ketahui, cara pandang seseorang berpengaruh besar terhadap kualitas kehidupannya. Baik sebagai individu manusia maupun sebagai hamba Tuhan.

Kembali ke contoh di atas. Jika saja orang pertama mau bersabar mencari tahu, ia tentu akan dapatkan jawaban. Bahwa ternyata orang yang mondar-mandir itu sedang berolah raga memanaskan tubuh, kakinya, yang sedang didera rematik atau asam urat. Dan itu artinya orang pertama telah keliru memilih pikiran. Rugikah dia dengan kekeliruannya? Iya. Sebab satu pikiran buruk (prasangka, penilaian buruk) ini akan menggiringnya pada rentetan berpikir berikutnya.

Lantas bagaimana dengan orang kedua yang tebakannya salah? Ia mengambil pikiran yang menghasilkan asumsinya sendiri, mencarikan alasannya sendiri. Bisa jadi itu hasil pengalaman pribadi, atau pengalaman orang lain. Salahkah ia sudah berpikir seperti itu? Tidak.

Kesimpulannya memang tidak sesuai. Namun caranya ‘memasang’ pikiran sudah tepat. Karena pilihan pikiran itulah otaknya memunculkan file-file senada yang kemudian menghadirkan asumsi (cincin hilang). Bisa jadi dari pilihan pikirannya, lahirlah empati.

Jika orang kedua ini terbiasa memilih berpikir seperti itu, dengan sendirinya ia akan terkategori ke kelompok manusia dengan pikiran positif. Sama-sama kita ketahui, hal positif hanya akan menarik hal positif pula, begitupun sebaliknya.

Seseorang kecanduan merokok. Ingin berhenti tapi tak bisa. Berbagai usaha sudah dilakukan, namun tetap saja gagal. Vonis penyakit paru tak menghalanginya dari menyukai rokok. Lantas apanya yang salah dengan pecandu berat ini?

Si pecandu ini sudah tak adil sejak dalam pikirannya. Ia berusaha menjauhkan diri dari rokok tapi tetap merokok. Hal ini karena ia tak memilih pikiran yang tepat, berkutat dengan pilihan pikiran lama. Tidak ‘menggaris bawahi’ bahwa rokok itu jahat/buruk di otaknya. Maka solusinya ialah dengan mengganti pikiran lama dengan pengertian baru akan buruknya rokok. Ia harus ‘menjejali’ otaknya dengan pikiran merokok itu buruk. Pilihan pikiran baru yang kuat akan merombak total pengertian lama, yang lantas menghadirkan sikap baru.

Seseorang yang cacat (lumpuh), bercita-cita mendaki gunung. Seluruh dunia menertawai ide mustahilnya. Namun ia tetap memilih pikiran bahwa ia bisa mendaki gunung. Garis kehidupan menggiringnya pada rentetan takdir akan ide tersebut.

Singkat kata, ia berhasil membuktikan bahwa ia mampu. Merubah hal mustahil menjadi lumrah. Ia sanggup mendaki gunung.

Banyak kisah-kisah tak masuk akal hadir di dunia ini. Lantas apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa harus sudah adil sejak dalam pikiran? Kenapa harus memilih berpikir positif?

Penting sekali untuk kita ketahui, sebagai usaha mengenali diri, bagaimana sebenarnya proses sebuah pikiran itu lahir.

Berikut kronologi berpikir manusia :

Pikiran ----> fokus/konsentrasi ----> perasaan ----> sikap ----> hasil

Pada kasus perokok berat di atas, jika ia mengambil pikiran bahwa rokok itu jahat/buruk, maka fokus/konsentrasi otaknya akan bekerja di seputar itu juga. Otak akan merecall file-file dari gudang memori yang menunjang pikiran bahwa rokok itu jahat/buruk. Otaknya akan memunculkan pengertian bahwa rokok itu buruk bagi kesehatan, bagi ekonomi, karir, bagi lingkungan sekitar. Lalu menjalar hingga melibatkan perasaan. Timbul perasaan tak enak akan rokok, merokok jadi tak senyaman biasanya. Lalu lahirkan sikap yang kemudian melahirkan hasil, memutuskan mnjauhi rokok.

Ada kendali otomatis dalam diri manusia terhadap sesuatu yang dianggapnya berbahaya. Dan kendali tersebut tergantung pada pikiran yang dipilih.

Begitu juga dengan pendaki gunung berkebutuhan khusus tadi. Ia memilih pikiran bahwa ia mampu. Pikirannya terkonsentrasi kuat pada pilihan pikiran tersebut. Lalu file-file otak mendorongnya pada hal-hal terkait dengan impian tersebut. Mendekatkannya pada hal yang berhubungan dengan mendaki gunung. Kamudian lahirlah sikap, berupa tindakan. Dan terakhir tampaklah hasil. Bisa jadi ia berhasil menaklukkan gunung. Bisa jadi juga gagal. Namun sebuah pilihan pikiran telah membuatnya bergerak. Apa jadinya jika ia tak menebalkan pikiran, terjebak pada jugdmen buruk orang-orang? Tentu saja ia takkan kemana-mana, bukan?

Seperti itulah kronologi berpikir manusia. Jika mau jadi manusia positif, otomatis pikirannya harus dijaga tetap positif. Jangan biarkan prasangka hadir. Sekali ber-prasangka, maka otak akan menghadirkan file-file serupa. Sekitarpun seakan membenarkannya, membuktikan. Postingan orang yang dianggap ‘musuh’ di medsospun akan dianggap sindiran yang ditujukan untuk dirinya (bukankah kasus ini banyak sekali korbannya?) Ujung-ujungnya lahirlah sikap permusuhan dengan sesama. Yang retak semakin retak. Yang tak bertegur sapa semakin dalam jurang pemisahnya.

Hanya ada dua pilihan pikiran dalam hidup ini, berpikir positif atau terpuruk di pikiran negatif. Pikiranlah yang membedakan manusia dengan penghuni bumi lainnya. Pikiranlah yang mengeluarkan manusia dari unsur kehewanannya. Berpikir positif? Kita pasti bisa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun