Mohon tunggu...
Aisyah Eche Irya
Aisyah Eche Irya Mohon Tunggu... -

Be a Good Person From a Positive Think

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jilbabmu Bukan Halanganmu

1 Januari 2016   13:10 Diperbarui: 8 April 2016   11:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi  mempunyai arti bahwa kedaulatan dan kekuasaan terbesar terdapat pada rakyat. Rakyat Indonesia juga memiliki hak untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan hak asasi manusia yang menjadi pedoman. Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi sesuai dengan Pasal 1 UUD 45 menegaskan Indonesia adalah Negara demokrasi konstitusional dan Negara hukum, prinsip-prinsip yang sebenarnya telah cukup kuat untuk menegakkan Negara demokrasi dimana mekanisme mayoritas dan minoritas dalam pengambilan keputusan dilaksanakan seiring dengan penghargaan pada prinsip penghargaan hak-hak asasi manusia.

Karena Negara Indonesia merupakan Negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi hak dari rakyatnya telebih hak asasi manusia sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 28 yang menerangkan bahwa adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pemikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam tulisan ini akan lebih terfokus pada pasal 28E yang terdapat diayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan memilih kewarganegaraaan, memilih tempat tinggal diwilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.

            Salah satu poin dalam pasal tersebut adalah adanya kebebasan untuk memeluk agama beserta melaksanakan kegiatan agama bersangkutan juga atribut dalam ketentuan agama. Poin lainnya ialah adanya kebebasan yang diberikan oleh Negara terhadap warga negaranya dalam hal memilih pekerjaan. Negara demokrasi khususnya di Indonesia yang memiliki ideologi salah satunya ialah pancasila yang menganggap bahwa warga negara Indonesia merupakan makhluk monoplural dimata pancasila yang memiliki arti bahawa setiap warga negara berada diposisi yang sama, tidak ada ketimpangan maupun keistimewaan tersendiri sesuai dengan butir pancasila ke- 2 yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang memiliki penjelasan bahwa Negara memberikan kedilan terhadap warga negaranya sehingga setiap warga negara memiliki hak yang sama satu dengan lainnya.

            Secara sederhana inti dari ajaran demokrasi yang saat ini dianut oleh Negara Indonesia sebagai Sistem pemerintahan ialah salah satunya memberikan kebebasan, namun kebebasan yang dimaksudkan disini bukanlah kebebasan yang seluas-luasnya tanpa ketentuan dan baratasan. Negara Indonesia memiliki ketentuan dan batasan tersendiri yang termaktub  dalam beberapa pedoman yang berupa Pancasila UUD 45, UU, serta dalam bentuk peraturan lainnya.

            Sekarang jika dikaitkan antara agama dengan pekerjaan, maka dua hal ini merupakan kebebasan yang sudah tercantum jelas menjadi ketentuan oleh setiap warga Negara. Jika ada yang berusaha untuk membatasi bahkan melarang hal yang dibebaskan tersebut, berarti sudah dapat dikatakan melanggar UUD 45 serta Hak Asasi Manusia.

            Negara Indonesia memang menjadi Negara demokrasi ketiga setelah India dan Amerika yang dikatakan berhasil, namun sesungguhnya masih banyak kendala dan masalah yang terdapat di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri diskriminasi masih menjadi kata yang tidak tabu dan familiar ditelinga, karena diskriminasi di Indonesia masih terjadi sampai saat ini.

Dalam pembahasan kali ini akan lebih berfokus pada diskriminiasi terhadap pekerjaan atas dasar agama. Masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawannya dalam penggunaan jilbab saat jam kerja. Padahal didalam agama Islam penggunaan jilbab bagi kaum wanita diwajibkan sehingga tidak ada alasan kepada para wanita muslim yang menggunakan jilbabnya pada jam kerja karena hal ini dianggap sebagai bentuk kebebasan dalam beragama.

Diskriminasi terhadap pekerjaan atas dasar agama ini pun terjadi pada perusahaan media. Tidak sedikit media yang memberikan pembatasan kepada para karyawannya khususnya presenter yang tidak diperbolehkan untuk mengenakan jilbabnya pada saat siaran berlangsung. Hal ini sudah dapat dikategorikan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan kata lain larangan penggunaan jilbab tersebut mengartikan adanya batasan seseorang untuk memilih dan melaksanakan perintah agamanya. Padahal di dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) berbunyi:

 

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Penjelasan:

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.

Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Penjelasan:

Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.

 

Ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan di atas menegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan diskriminasi terhadap pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya karena pada dasarnya tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, baik itu berdasarkan agama, kelamin, suku, ras maupun aliran politik yang dianutnya.

Namun kenyataannya yang terjadi dilapangan ialah masih ada batasan yang diberikan oleh perusahaan media terhadap para presenternya dalam berkarir. Sesungguhnya jika media berpandangan jernih bahwa jilbab bukanlah sesuatu hal yang dapat mengganggu dan mempengaruhi seorang presenter dalam mengembangkan potensinya, kecerdasan, serta pengetahuannya terhadap dunia luar. Jilbab hanyalah masalah busana dan penampilan, seharusnya jika media memiliki alasan hak asasi manusia terhadap presenter yang menggunakan pakaian minim saat membawakan acara, maka tidak sepantasnya ada larangan untuk presenter mengenakan jilbabnya saat memandu acara. Setiap media  selalu beralasan memiliki ideology tersendiri mengenai hal tersebut.

Bahkan ironinya lagi sekarang bukan hanya media-media besar saja yang memiliki larangan penggunaan jilbab kepada presenter saat siaran, namun media-media lokal yang berjejaring pun sudah mulai menerapkan peraturan tersebut. Dengan alasan sudah menjadi peraturan dari pusat yang tidak mungkin dilanggar oleh media lokal sebagai jaringannya yang membuat semakin sempit kesempatan wanita muslim yang ingin mengibarkan karir didunia presenting terutama di media televisi.

Sebenarnya masalah diskriminasi mengenai penggunan jilbab bagi presenter ini sudah pernah diributkan pada tahun 2006. Pada saat itu ada salah satu presenter utama dari salah satu media besar swasta yang memutuskan untuk berjilbab dan ini menjadi polemik baru di dalam media tersebut, sehingga media tersebut memberikan peraturan yang memberatkan sang presenter dan akhirnya ditahun 2006 presenter ternama itu memilih untuk mengundurkan diri dari media yang selama 15 tahun sudah membesarkan namanya tersebut.

Di wilayah kota Banjarmasin sendiri pun diskriminasi mengenai hal ini pun terjadi bahkan peraturan untuk melepas jilbab seseorang pada saat siaran sudah diberlakukan bahkan pada saat masih dalam tahap casting. Presenter  diminta utnuk melepaskan jilbabnya demi untuk penilaian atau pada tahapan seleksi.

Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan yang sudah dibahas diawal tadi, dengan adanya diskriminasi seperti ini media yang melarang presenternya menggunakan jilbab sudah dapat dikatakan melanggar UUD 45 pasal 28 mengenai Hak Asasi Manusia, tentang keadilan dalam butir sila kedua, serta bebrapa UU mengenai ketenagakerjaan.

Jika kembali kepada peraturan yang berlaku di Negara ini seharusnya media tidak perlu melakukan pembatasan tersebut. Terlebih Negara Indonesia terkenal dan diakui merupakan negara terbesar dengan penduduk yang mayoritas Islam, namun ironi yang terjadi jika mayoritas harus kelah dengan minoritas. Dan seharusnya media tidak perlu terlalu mempermasalahkan bungkus ataupun kemasan dari sang presenter namun harus lebih menitikberatkan penyeleksian presenter kepada tingkat intelektualitas, etika dan pengetahuan yang luas. Karena hal tersebutlah yang lebih diperlukan. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa jilbab tidak boleh menjadi halangan seseorang untuk berkarir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun