Semalam saat saya bilang ke anak-anak yuk besok kita berbagi sama orang-orang, anak-anak langsung menyambut antusias. Mereka langsung sibuk ngelist menu yang ingin dibagi-bagi.
"Mauuuu", kata mereka serempak
"Kira-kira mau bagi apa, Ma? Sosis? Salad? Nasi ayam? Atau apa?"
"Apa bikinin puding kesukaan kita saja gimana, Ma?"
Tuh kan dah pada ribut mau berbagi apa anak-anak. Padahal mereka tahu magernya luar biasa Mamanya kalau disuruh masak. Ya gimana, kesibukan di bulan Ramadan jadi bertambah sepertinya.
"Ma, kita mau bawa ke masjid?", tanya Raffi
"Boleh sih. Ke masjid Muhammadiyah saja ya"
"Iya, Ma"
Tiba-tiba Raffa nyeletuk...
"Ma, kenapa gak buat Pak Jusi?"
"Eh iya bener, Ma. Buat tetangga kita saja?"
Benar juga sih. Pak Jusi ini adalah tukang sampah di lingkungan sini. Kenapa kita harus jauh-jauh ke masjid kalau ternyata di samping-samping kita ada tetangga yang membutuhkan. Bukan beberapa, banyak banget malah. Hidup di desa, kadang ada yang rumah kecil tapi punya tanah atau sapi banyak. Tapi banyak banget yang rumah tembok dan kayu seadanya karena memang bukan orang berada. Bahkan di sini hampir setiap rumah mendapat bantuan BLT. Makanya saat pindah ke lingkungan sini, hidup saya jauh dari "sok" mewah. Ya gimana, kan harus menyesuaikan. Tapi nyaman juga hidup ada adanya begini.
Banyak tetangga saya yang masih mandi dan cuci-cuci di sungai, karena MCK di rumahnya belum memadai. Bahkan untuk membayar iuran sampah 20ribu saja, tetangga saya banyak yang menunggak. Kalau dibandingkan dulu saat di Jakarta IPL plus sampah bisa 500ribu sendiri, itu hal yang sangat kontras memang.
Ada riwayat Rasulullah bersabda, " Jangan sampai seorang kenyang tapi tetangga kelaparan". Iya sih ya, rasanya kenapa kok jauh-jauh padahal ke tetangga banyak yang layak mendapat kebahagiaan berbagi dari kami.
Akhirnya jam 3 sore kami sudah menyiapkan takjil petula, ini tuh makanan khas Ramadan gitu. Apalagi pakai saus putihnya tambah lezat. Kebetulan tetangga saya ada yang jual, jadi saya tidak bingung mau cari kemana untuk beli petula.
Satu bungkus sudah diplastikin jadi tinggal dibagi-bagi saja. Anak-anak sudah semangat banget bawanya. Mau saya tolong bawain pada tidak mau. Kami membagikan 20 petulo ke beberapa tetangga di sekitar rumah. Walau satu rumah cuma dapat satu bungkus petulo, semoga menjadi berkah berbuka puasa yang enak.
Saat saya tanya anak-anak suka tidak dengan kegiatan ini, mereka menjawab suka banget. Alasannya karena bisa bersedekah dan berbagi sama tetangga-tetangga sekitar rumah. Alhamdulillah, semoga kalian menjadi anak-anak yang soleh ya laki-laki kesayangan mamih.
Ini loh keseruannya saya share di ig reels akun instagram saya @echaimutenan.
Berbagi memang tidak perlu menungggu Ramadan sebenarnya. Walau sedikit, jangan lupa ajarkan anak untuk berbagi agar tercipta rasa cinta kasih dalam hati mereka terpupuk sejak kecil. Apalagi berbagi dengan orang-orang di lingkungan rumah atau kita sebut tetangga. Karena bagaimanapun misal kita meninggal, tetangga yang akan mengurus jenazah kita sampai ke liang lahat.
Walau kadang kesel sama kelakuan tetangga, jangan lupa ya berbagi. Jangan sampai kita bersedekah dan membantu orang yang di jauhnya, tapi tetangga kita ada yang sedang kesusahan kita tidak perhatian. Bukankah Islam itu indah, tidaklah seorang beriman tapi ternyata sering mencela tetangga. Namanya hidup bertetangga pasti memang ada saja, tinggal kita menjalaninya dengan penuh sabar.
Mungkin di momen Ramadan ini, kita bisa tahu kalau banyak tetangga yang membutuhkan bantuan kita. Kalau kata orang, kalau masak jangan lupa bagi ke tetangga walau sedikit. Begitupun yang kami lakukan tadi sama anak-anak, berbagi takjil untuk tetangga.Â
Ini cerita kami, bagaimana dengan cerita berbagi takjil Ramadan kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H