Sedang dunia politik bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Masyarakat lantas mempunyai persepsi bahwa berpolitik itu kotor, lantaran banyaknya prilaku politik dan prilaku politisi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah politik yang benar. Di sisi lain tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang bisa memberikan tausyiah dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. Untuk itu tidaklah mungkin seorang tokoh agamawan bisa menjadi seorang tokoh politik pada waktu yang bersamaan.
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, atau Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun 1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Ada harapan yang dibebankan di pundak para tokoh-tokoh berlatar belakang agama itu yaitu mereka diharapkan akan bisa memberikan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Maka, keragaman Partai Politik bernafaskan Islam tersebut, mudah dimengerti , karena bahkan dalam satu unit agama tertentu akan ada pelbagai ragam pemahaman beserta seluruh implikasi sosial politiknya. Pendekatan yang seperti inilah yang kiranya tepat apabila hendak dipakai untuk mengidentifikasi pemikiran-pemikiran agama yang mana yang sesuai (atau tidak sesuai) dengan demokrasi. Dalam konteks Islam, menarik juga untuk mempertanyakan,” Bagian Islam yang mana dan seperti apa yang cocok dengan perkembangan politik yang demokratis dalam dunia kaum Muslim?”
Atas dasar penelitian mereka terhadap doktrin dan praktik politik Islam. Ernest Gellner dan Robert M. Bellah sampai pada kesimpulan bahwa ada kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Doktrin yang diteliti berkisar pada keadilan ( al-`adl), egalitarianism/kesamaan ( al-musawah) dan musyawarah ( syurâ) terealisasikan di dalam praktik politik kenegaraan awal Islam yang dinilai modern itu ( disebut modern karena adanya komitmen, keterlibatan dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah. )
Struktur politik yang dikembangkan pada masa ini juga modern dalam artian adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang didasarkan pada prinsip meritokrasi(suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan) dan tidak bersifat hereditary alias bersifat pewarisan dari leluhur.
Ada beberapa alternatif untuk menjawab pertanyaan sejauh mana ajaran Islam koheren dengan nilai-nilai demokrasi:
- Pengujian holistik atas ajaran social budaya, ekonomi dan politik dalam Islam, meskipun secara praktis hal ini akan melelahkan
- Mempersoalkan posisi umum Islam dalam kehidupan umatnya serta bagaimana mereka menyikapi ajaran-ajaran yang telah terkodifikasi dalam Al Qur`an dan Sunnah.
Di samping itu, banyak yang mempercayai bahwa Islam memiliki sifat umum dan menyeluruh dalam konteks “sebuah masyarakat madani”, “peradaban yang holistic” atau sebagai “agama dan negara”. Semuanya itu akan mengarah pada kesimpulan bahwa Islam lebih dari sekedar sistem ritus/teologi alias sebagai pihak yang memberi panduan etis bagi seluruh aspek kehidupan secara organic dalam bentuknya yang legalistic dan formalistic.
Sesungguhnya, Islam memberikan panduan nilai moral dan etika dalam bentuknya yang global, bukan secara mendetail. Jadi, pembicaraan mengenai hubungan antara Islam dan politik, Islam dan demokrasi atau Islam dan masyarakat madani tidak akan ditemukan perinciannya dalam Al Qur`an (sebab kitab suci ini bukan buku tentang ilmu politik ), namun Al Qur`an hanya memberikan wawasan. Detailnya akan diserahkan kepada para pemikir dan aktivis untuk merumuskannya sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada, dengan suatu prinsip dasar yang sama (al-`adl, al-musawahdan syurâ ), prinsip yang bisa dikatakan sebagai inti dari bangunan politik yang demokratis.
Mohammad Natsir, sebagai bagian dari generasi awal pemikir dan aktivis Islam, memiliki gagasan, yang tampak dalam perjuangan politiknya, untuk mengkonstruksikan Negara dan mekanisme penyelenggaraannya pada asas teo-demokrasi. Hal ini berakar pada pemahaman Natsir tentang Islam yang berwatak holistic dan omnipresence dan karenanya Islam harus dikaitkan secara legalistic-formalistik dengan seluruh aspek kehidupan, termasuk politik kenegaraan.
Namun, untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis sesuai ajaran Islam, bagaimanapun tetap ada kendala `teknikal` disini.. Dimaksud dengan `teknikal` disini adalah pola pendasaran kehidupan komunitas Islam itu sendiri yang bentuknya sangat variatif sesuai dengan circumstances yang melingkupinya, yang jangankan antar kawasan, antar individu pun bisa sangat berbeda pola pendasarannya.